NILAI-NILAI PENDIDIKAN AGAMA HINDU DALAM CERITA BATUR TASKARA


NILAI-NILAI PENDIDIKAN AGAMA HINDU
DALAM CERITA BATUR TASKARA

Oleh:
I Wayan Sudiarta
Dosen STKIP Agama Hindu Amlapura

ABSTRAK
Cerita Batur Taskara adalah salah satu karya sastra yang merupakan peninggalan nenek moyang yang kaya akan nilai-nilai pendidikan agama Hindu, di mana sudah sepantasnya mendapatkan perhatian dalam upaya pelestarian dan pengembangan budaya bangsa. Upaya yang dilakukan untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan tersebut, maka di dalam artikel ini dikhususkan untuk meneliti salah satu hasil karya sastra lama yaitu Cerita Batur Taskara. Cerita Batur Taskara mengisahkan tentang prilaku seorang penjahat dikemudian hari menyesali perbuatannya kemudian memutuskan untuk bertobat dan akhirnya mati karena terbunuh. Dalam penelitian ini membahas dua hal, yakni (1) bagaimanakah sinopsis Cerita Batur Taskara? dan (2) Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu apa saja yang terkandung dalam Cerita Batur Taskara?. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sastra. Jenis datanya dengan sumber data primer berupa naskah asli dari Cerita Batur Taskara dan data sekunder berupa studi pustakaan atau dokumen yang relevan. Pengumpulan data yang digunakan  dengan metode pencatatan dokumen. Metode analisis datanya dengan metode analisis deskriptif dengan teknik induksi dan argumentasi. Hasil pembahasan dari penelitian ini diproleh hasil (1) Sinopsis Cerita Batur Taskara yaitu Batur Taskara adalah seorang penjahat yang dikemudian hari menyesali perbuatan akhirnya mati karena terbunuh, (2) Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu yang terkandung meliputi: Tat Twam Asi, Panca Yama Bratha, Panca Niyama Bratha dan Dasa Yama Bratha.

Kata Kunci : Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu, Cerita Batur Taskara
  
BAB  I PENDAHULUAN
1.1  Latar  Belakang Masalah
            Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Adapun dalam arti sempit kebudayaan adalah kesenian yaitu pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang memenuhi hasratnya akan keindahan. Kesenian itu ada bermacam–macam seperti seni tari, seni suara, seni lukis, seni ukir, seni tabuh, dan seni sastra.
Seni sastra (kesusastraan) yaitu semua tulisan atau karangan yang ditulis dengan bahasa yang indah dan mengandung nilai–nilai kebenaran serta kebaikan. Seni sastra dibagi menjadi dua yaitu seni sastra Indonesia dan seni sastra daerah. Dalam seni sastra daerah khususnya karya sastra Bali yang tidak kalah penting salah satunya adalah seni sastra Bali Purwa. Kesusastraan Bali Purwa memiliki fungsi dan kegunaan yang sangat erat kaitannya dengan upacara keagamaan, khususnya Agama Hindu, karena dalam setiap aktifitas keagamaan dari zaman dahulu hingga sekarang tidak terlepas dengan budaya. Salah satunya kesusastraan Bali Purwa yang masih berkembang di Bali adalah Cerita Batur Taskara.
Pada hakekatnya seni sastra Bali Purwa merupakan wujud kebudayaan Bali sebagai pengamalan ajaran Hindu. Agama Hindu adalah jiwa seni sastra tradisional. Inti dari ajaran Agama hindu yang berpedoman dalam etika Hindu terdapat di dalam Cerita Batur Taskara. Oleh karena itu cerita ini sering dipergunakan untuk mengiringi upacara yadnya seperti Panca Yadnya, yakni lima keyakinan atau kepercayaan yang harus dipegang teguh dalam kehidupan beragama dan masyarakat demi mencapai tujuan hidupnya. Dalam mencapai tujuan hidup tersebut, umat Hindu semakin menunjukkan perhatian yang cukup besar terhadap pelaksanaan agama, salah satunya alat untuk mencapai tujuan hidup kehidupan beragama dalam masyarakat Hindu akan tampak pada kegiatan-kegiatan yadnya yang dilakukan oleh umat Hindu khususnya dalam melaksanakan upacara persembahyangan. Di samping itu minat umat Hindu dalam mengikuti acara-acara pemujaan (persembahyangan), tampak pula makin sempurnanya pelaksaan upacara keagamaan antara lain ditampilkannya kesenian keagamaan yang sangat penting bagi umat Hindu dalam melaksanakan upacara agama yadnya tersebut (Gautama,2010:21).
Pelaksanaan nilai-nilai pendidikan agama Hindu tersebut haruslah dilandasi dengan ajaran etika, yang merupakan salah satu dari bagian Tri Kerangka Dasar Agama Hindu selain tattwa (filsafat), dan upakara (upacara). Ajaran etika meliputi tiga aspek perbuatan manusia, yaitu pikiran, perkataan, dan perbuatan yang terdapat di dalam ajaran Agama Hindu disebut dengan Tri Kaya Parisudha, yakni tiga prilaku manusia yang baik dan benar. Kayika (berbuat yang baik dan benar), Wacika (berkata yang baik dan benar), dan Manacika (berpikir yang baik dan benar). Ketiga aspek tersebut tidak bisa dipisahkan dengan ajaran etika, karena di dalam berpikir, berkata dan berbuat kita selalu berpedoman dengan etika.
Sebagai makhluk Tuhan yang memiliki akal dan pikiran, manusia juga mempunyai kebebasan dalam berkarya untuk mencari tahu hal-hal  menarik dan menghasilkan seni untuk dijadikan karya profesional dan mudah dimengerti seperti cerita, makidung, palawakya, yang sudah menjadi tradisi budaya masyarakat Bali. Tradisi tersebut masih hidup dan berkembang salah satunya adalah karya sastra lama, yaitu Cerita Batur Taskara. Namun akhir-akhir ini, karya sastra lama tersebut semakin memudar dan punah disebabkan oleh semakin berkurangnya jumlah penutur sebuah karya sastra. Padahal di dalam sebuah karya sastra itu tertuang sebuah gagasan atau ide-ide, ajaran agama, ajaran moral, dan ajaran etika atau susila. Dalam karya sastra ada nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai nasihat bagi para pembacanya.
Kenyataannya di masyarakat masih banyak yang belum tahu tentang sinopsis Cerita Batur Taskara. Selain itu, hanya beberapa orang saja mengetahui unsur bahasa yang digunakan dalam Cerita Batur Taskara. Oleh karena itu, dalam penelitian ini  diteliti tentang sinopsis dan nilai-nilai pendidikan agama Hindu yang terkandung dalam Cerita Batur Taskara.
Cerita Batur Taskara sebagai salah satu contoh karya sastra merupakan peninggalan nenek moyang  yang kaya akan nilai-nilai moral dan spiritual, yang sudah sepantasnya mendapatkan perhatian dalam upaya pelestarian dan pengembangan budaya bangsa. Oleh karena itu, upaya untuk mewariskan kebudayaan daerah dapat diwujudkan dalam kesatuan budaya nasional. Dalam setiap kelompok masyarakat memiliki kebudayaan yang berbeda-beda antara masyarakat satu dan masyarakat lain. Karena keduanya tersebut antara kebudayaan dengan masyarakat dua sisi yang tidak dapat dipisahkan antara sisi satu dengan sisi lain. Masyarakat tidak akan bisa berkembang dan maju tanpa kebudayaan, begitu juga sebaliknya.
Penelitian karya sastra lama dalam rangka menggali nilai budaya bangsa merupakan salah satu usaha yang erat kaitannya dengan pembangunan mental spritual. Nilai-nilai budaya bangsa tradisional di tengah kehidupan masyarakat modern seperti sekarang, Bangsa Indonesia mewarisi sejumlah legenda baik yang disimpan dalam bentuk lisan maupun bentuk tulisan. Di dalamnya terkandung isi yang sangat kaya dengan nilai pendidikan, agama, kebudayaan, sosiasl, politik, ekonomi, dan sastra.
Upaya yang dilakukan untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan lama, maka di dalam penelitian ini dikhususkan untuk meneliti salah satu hasil kebudayaan lama yaitu Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu yang terkandung dalam Cerita Batur Taskara.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan  ruang lingkup penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.2.1        Bagaimanakah sinopsis Cerita Batur Taskara ?
1.2.2         Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu apa saja yang terkandung dalam Cerita Batur Taskara?
1.3   Tujuan Penelitian
            Berdasarkan rumusan masalah di atas,  tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3.1        Untuk mengetahui sinopsis Cerita Batur Taskara.
1.3.2        Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan agama Hindu yang terkandung dalam Cerita Batur Taskara.
1.4   Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian dibedakan menjadi manfaat teoretis dan manfaat praktis :
1.      Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para akademisi atau yang berkecimpung dalam dunia pendidikan untuk memperluas cakrawala pengetahuan. Di samping itu, guna melestarikan nilai budaya bangsa, yaitu warisan dari nenek moyang yang ditentukan sarat dengan nilai-nilai pendidikan agama Hindu yang terkandung dalam Cerita Batur Taskara.
2.      Manfaat Praktis
            Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat kepada : 1) bagi kalangan mahasiswa, hasil penelitian ini diharapkan dijadikan sebagai pedoman menyusun penelitian yang sejenis, 2) bagi kalangan akademisi, hasil penelitian ini diharapkan menambah wawasan serta mengembangkan materi dibidang pendidikan agama Hindu, bagi kalangan masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pengetahuan dan pedoman dalam bertingkah laku yang baik dan benar sesuai dengan nilai pendidikan agama Hindu yang terkandung dalam Cerita Batur Taskara.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1  Sinopsis
Dalam penulisan karya ilmiah khususnya tentang sastra membutuhkan suatu penelitian yang dilakukan secara bertahap. Dari penelitian tersebut akan menghasilkan suatu karya berupa tulisan yang dirangkum sedemikian rupa sehingga menjadi suatu karya ilmiah. Isi karya tersebut pasti memiliki suatu tujuan yang positif bagi pembaca, namun untuk mengetahuinya pembaca mesti membuka halaman demi halaman, sehingga butuh waktu yang sangat lama untuk mengetahui isinya. Sama seperti membaca karya sastra seperti cerita, laporan, dan novel, untuk mengetahui isinya sangatlah lama jika harus membaca keseluruhan dari isi buku. Maka dalam penulisan karya sastra baik berupa karya ilmiah , cerita, laporan dan novel haruslah membuat sinopsis mengenai isi karya yang dibuat, agar mempermudah pembaca untuk mengetahui isi dari buku yang dibaca secara ringkas.
Sinopsis adalah ringkasan cerita sebuah karya sastra. Ringkasan karya sastra adalah bentuk pemendekan dari sebuah karya sastra dengan tetap memperhatikann unsur-unsur interinsik karya sastra tersebut. Dalam sinopsis, keindahan gaya bahasa,  ilustrasi dan penjelasan-penjelasan dihilangkan, tetapi tetap mempertahankan isi dan gagasan umum pengarangnya.
Sinopsis juga sering disebut dengan ringkasan, abstraksi serta ikhtisar (Tim Penyusun, 2005: 1072). Lebih lanjut Hardaniwati (2003: 634) menyatakan bahwa “sinopsis adalah ikhtisar karangan biasanya diterbitkan bersama karangan aslinya”. Sementara menurut Zaidan “sinopsis diartikan rangkuman isi karya sastra” (1996: 190).
Jadi berdasarkan uraian di atas dapat ditekankan bahwa, sinopsis adalah suatu gambaran ringkas dari sebuah sastra yang merangkum seluruh isi materi terhadap sesuatu yang ada di dalamnya guna dipahami lebih lanjut serta masih tetap memperlihatkan dan mempertahankan isi gagasan asli dari pengarangnya dalam sebuah karya sastra.

2.2.Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diuraikan kata nilai mengandung arti: “ (1) harga satuan, (2) harga uang, (3) angka kepandaian, (4) banyak sedikitnya isi, (5) sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan, (6) sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya (Tim Penyusun, 2001: 783). Sedangkan Huki (1982: 23) menyatakan bahwa, “nilai juga disebut dengan ideal, dengan demikian dapat dikatakan bahwa di dalam perkembangan budaya untuk pelaksanaan hidupnya, manusia terus menerus mengkongkritkan yang baik tersebut”. Di samping itu, nilai juga diartikan suatu harga (Ananda Kusuma, 2001: 783). Kemudian Magnis (2000: 34) menyatakan bahwa, Apa yang bernilai adalah tindakan atau hubungan, pokoknya sebuah kenyataan dalam dunia kita ini.
Terkait dengan nilai-nilai pendidikan agama Hindu, dalam buku Etika Pendidikan Agama Hindu (Subagiasta,2007:7) yang mencakup ruang lingkup susila yaitu: “Catur Asrama, Panca Yama Bratha, Dasa Yama Brata, Sapta Timira, Sad Tatayi, Catur Paramita, Catur Prawerti, Catur Guru, Wiweka, Tat Twam Asi, Sadripu dan Tri Kaya Parisuda”.

2.3.Pengertian Cerita
Cerita merupakan tuturan yang membentangkan atau menceritakan suatu peristiwa mengenai bagaimana pengalaman, atau penderitaan seseorang , baik yang sungguh- sungguh terjadi maupun yang rekaan belaka atau fiksi. Gautama (2009 : 572 ) menjelaskan bahwa  cerita”. Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia  dinyatakan bahwa : “ cerita artinya paparan atau pemutaran tentang peristiwa”. (Djaka, tt : 54 ). 
Dalam Kamus Bahasa Indonesia cerita merupakan : ( 1) tuturan yang  membentang bagaimana terjadinya suatu hal (peristiwa, kejadian dan sebagainya , (2) karangan yang menuturkan perbuatan, pengalaman atau penderitaan orang , kejadian dan sebagiannya ( baik yang sungguh- sungguh terjadi maupun yang hanya rekaan belaka ), (3) lakon yang diwujudkan atau dipertunjukkan dalam gambar hidup ( sandiwara, wayang dan sebagainya ), (4) ki omong kosong , dongengan (yang tidak benar ) (Tim Penyusun, 2005 : 210 ).

           Berdasarkan pendapat diatas dapat dikemukakan bahwa cerita merupakan paparan suatu peristiwa yang menceritakan tentang pengalaman, penderitaan seseorang baik yang benar- benar terjadi ( fakta ) ataupun yang bersifat rekaan/ fiksi.

BAB III METODE PENELITIAN
3.1  Metode Penelitian Sastra
           Jadi metode penelitian sastra yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif karena penelitian ini bertujuan untuk menafsirkan dan mengungkapkan kewajiban yang terkandung didalam Cerita Batur Taskara dan metode analisis isi karena dilakukan analisa terhadap karya sastra yakni mengenai tentang Sinopsis dan Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu Dalam Cerita Batur Taskara.

3.2  Pendekatan Penelitian Sastra
Sehubungan dengan penelitian ini, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan mitopoik dan objektif. Digunakan metode mitopoik karena Cerita Batur Taskara memasukkan unsur-unsur agama utamanya nilai-nilai pendidikan agama Hindu. Dan pendekatan objektif  menekankan tentang sinopsis Cerita Batur Taskara.

3.3 Jenis dan Sumber Data
3.3.1  Jenis Data
Dalam penelitian data merupakan bagian yang sangat penting dalam memecahkan masalah. Data yang telah dikumpulkan oleh peneliti tidak akan ada gunanya jika tidak diolah, karena dengan pengolahan data, maka data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data berupa dokumen, karena data yang disajikan berupa buku atau teks tentang sastra.

3.3.2 Sumber Data
Dalam penelitian ini, sumber data yang digunakan adalah data primer dan data skunder. Data primernya didapat melalui Cerita Batur Taskara sedangkan data sekundernya didapat melalui buku-buku dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitan.


3.4 Metode Pengumpulan Data
 Metode pengumpulan data adalah metode khusus yang digunakan untuk mencari data dalam proses penelitian. Pengumpulan data merupakan kegiatan yang sukar dan harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan cermat. Apabila data salah, maka akan menghasilkan kesimpulan yang salah dan akan menghasilkan suatu penelitian yang palsu. Beberapa metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian pendidikan atau penelitian sosial antara l;ain : observasi , interview,  kuesioner (angket), tes , pencatatan dokumen, sosiometri, inventori dan lain-lain (Tim penyusun, 2012 : 66).
Terkait dengan penelitian ini metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode pencatatan dokumen.

3.5 Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini analisis data yang digunakan adalah metode analisa data dan non statistik atau bisa disebut dengan metode pengolahan data secara deskriptif dengan teknik induksi dan argumentasi. Maksudnya adalah data yang disusun sistematis berdasarkan dengan fakta-fakta yang bersifat khusus,  kemudian diberikan sebuah komentar data dan alasan yang rasional kemudian ditarik kesimpulan yang logis.


BAB  IV PEMBAHASAN    
4.1  Deskripsi Cerita Batur Taskara  
       Naskah Cerita Batur Taskara yang dijadikan objek penelitian ini adalah naskah berupa buku Kidung Tantri Nandaka Harana yang berjudul Cerita Batur Taskara yang ditulis dalam sebuah buku dengan menggunakan huruf aksara Bali dan menggunakan bahasa Bali alus. Naskah terjemahannya digunakan hanya sebagai pelengkap dalam mendalami naskah asli. Pengarang dari Cerita Batur Taskara ini adalah Ida Pedanda Gede Nyoman Pidhada dari Griya Puniartirtha bersama dengan Ida Pedanda Gede Ketut Pidhada saking Griya Sindhuwati.
       Cerita Batur Taskara ini diterbitkan oleh Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Daerah Tinggkat 1 Bali dan ditulis pada tahun 1996. Cerita Batur Taskara ini terdiri dari 13 halaman termasuk kata pengantar dan daftar isi. Sampul buku Cerita Batur Taskara berwarna putih yang berisi gambar sapi, singa, srigala. Pada bagian atasnya tertera judul yang berwarna hitam dan berisi tulisan aksara Bali yaitu kidung Tantri Nandaka Harana. Sedangkan paling bawah tertulis tahun dengan warna hitam.

4.2  Sinopsis Cerita Batur Taskara
        Batur Taskara adalah orang yang membuat resah warga masyarakat di wilayah Desa Nila Crengga. Sehingga diberitahukan kepada Raja Kerajaan Patali. Oleh Sang Pandita. Benar bahwa Beliau Sang Prabu bijaksana dalam memerintah Negara. Hormat kepada Para Pandita. Pada akhirnya diberitahukan kepada Para Mentri. Sampai pada semua masyarakatnya menyelidiki yang membuat huru-hara menyuruh membunuh Batur Taskara takut kemudian melarikan diri.
       Tahu kemarahan dari Ida Sang Prabu kemudian bersembunyi di tengah Hutan. Tidak bisa ditemukan pengejarannya, semua kembali yang mengejar. Diceritakan Ida Sang Batur Taskara sudah berapa hari lamanya keliling bersembunyi, lapar, kehausan, kurus kering badanya tidak makan selama Beliau bersembunyi. Jadi merasa dihati ingat kehidupan Beliau tanpa arti di dunia. Berbuat jahat suka mencuri, melakukan Sad Atatayi, Bagaimana jadinya apabila ia mengungsi ke desa tidak luput akan meninggal. Ya lebih baik ke Pasraman yang sepi, pakai kita mencari jalan yang benar, semoga diijinkan oleh Sang Maha Biksu. Saya akan mohon pembersihan diri.
          Kemudian Sang Batur Taskara lagi bertanya, senang seperti pedanda untuk memberitahukan Hamba.
       Akan menghadap kepada Ida Sang Maha Muni. Cepat kemudian Ida Pranda Istri memberitahukan kepada Ida Sang Adi Guru, ya suruh datang menghadap. Lantas datang Sang Batur Taskara, menunduk hormat sambil mencangkupkan tangan. Berkata Ida Dhang Guru, ya silahkan duduk Ananda, kangen bapak melihat raut wajah Ananda layu dan kurus kering. Mungkin sudah dari lama bersembunyi Sang Batur Taskara menjawab, ya benar sekali Ratu Pedanda penting sekali Hamba cucu Pedanda datang menghadap memohon untuk membersihkan diri memang berkeinginan untuk menjadi murid dikarenakan saya sangat  kotor sehari-hari melakuan pencurian, senang Ratu merestui.
      Walau seperti gunung, atau seperti dunia berat dosa-dosa hamba saya ini sudah pasti akan musnah menjadi abu. Habis hilang semua hanyut seperti air sungai gangga. Meluaskan kebersihan hati Sang Maha Muni. Tidak lain seperti kedalaman laut. Ida Pedanda Astapaka senang mendengar. Segala perbuatan yang jahat yang sudah lalu, semuanya diberitahukan. Lantas singkat cerita setelah di Diksa Ida Sang Maha Yani berkata, ya Anakku karena sudah selesai upacara padiksaanmu Wang Bang Batur Witaskara sekarang namamu. Janganlah lagi menuruti sad atatayi, agar dirimu waspada akan setiap tindakan.
      Siang malam terlewatkan tanpa memenuhi hasrat asmara, sehingga terlahir seorang putra yang suputra betapa sangat mereka cintai dan sayangi dalam mendidiknya apalagi ketika sang anak memanggil mereka sebagai Ayah dan Ibu saat itu istrimaya menyatakan sesuatu Wahai suamiku Brahmana marilah kita pergi kepatalinagantun. Sudah sekian lamanya saya berharap-harap bertemu kedua orang tuanya untuk memohon restunya, karena saat ini mereka telah memiliki seorang cucu Brahmana yang maha utama. Maka dijawab oleh Batur Taskara, Janganlah Adinda mengira aku menolak permintaanmu. Ikut pergi ke patalinagantun, dikarenakan saat ini adalah Sasih karo.
     Bila memaksakan maka besar resikonya, hanya akan mengakibatkan kematian untukku lebih baik bersabarlah bila sudah ketiga mari kita berangkat bersama, karena saat itu merupakan hari baik. Tidak ingin ditunda-tunda terus. Seperti itu istrinya langsung menjawab dengan nada marah baik kalau begitu biarkan saya sendiri yang pergi bagai tidak dihargai kehadiran saya, tiada yang pernah peduli sambil menggendong putranya meninggalkan pasraman tinggallah Batur Taskara sendirian diliputi kesedihan mendalam akan kehilangan orang yang dicintainya.
     Ingat kepada istri dan anak yang tidak ada mengantar sudah pastinya akan menemui bahaya, perjalanan jauh yang sulit, sungai, jurang, tebing maka semakin terbayang kasih sayangnya kepada sang anak, saat itu juga tanpa berpikir menyusul perjalanan istri dan berhasil disusul ditegal jamur di wilayah tegal aru-aru. Dengan penuh rasa penyesalan berucap dengan welas asih. Maafkan aku adindaku, bukannya aku tega membiarkan kepergian dengan langsung memeluk putranya yang digendong sambil melanjutkan perjalanan. Banyak Desa yang telah dilewati begitu juga yang disinggahi katang lumbang dan menginap dirabut mujung.
    Sering menginap dijalanan keesokan hari jam tiga tibalah mereka diperbatasan nagara Patali. Sang Istrimaya mencari alasan mengatakan lelah. Ya Ratu Pranda lebih baik berhenti sejenak. Saya tidak bisa berjalan disini tempatnya bagus beristirahat dibawah pohon kepuh. Benar sekali sudah waktunya meninggal saat baik sekali waktu itu. Ida Sang Prabu kehilangan kambing betina. Diselidiki oleh rakyat Ida Sang Prabu dilihat banyak prajurit membagi perjalanan memburu kambing tersebut hal itu dilihat oleh Batur Taskara sebaiknya mari kita bersembunyi banyak para prajurit berdatangan.
    Yang datang itu semua ingat kepada Ida Batur Taskara kemudian mendekat dan bertanya adakah gerangan anda mendapati kambing milik Sang Prabu yang belum kami temukan dijawab oleh Batur Taskara. Tidak ada saya melihat tiba-tiba Istrimaya bersama putranya berubah menjadi kambing keluar dari balik pohon kepuh tempat peristirahatanya tadi hal tersebut dilihat oleh prajurit kerajaan. Hai tidak henti-hentinya jahat manusia ini itu apa kambingnya disitu disembunyikan. Batur Taskara menoleh terkejut melihat kambing. Karena sebelumnya disana istri dan anaknya bersembunyi, tidak bisa berbuat dan berkata apa-apa kemudian ditikam dikubur dibawah pohon ambulu. Begitulah jika memang sudah menjadi takdir tidak ada seorang pun yang menghindarinya karma perbuatannya.    

4.3 Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu dalam Cerita Batur Taskara
Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu dalam Cerita Batur Taskara antara lain: Tat Twam Asi, Tri Kaya Parisudha, Catur Paramitha, Panca Yama Brata, Panca Niyama Brata, Dasa Yama Brata, Tri Hita Karana, Sapta Timira, Sad Ripu dan Karma Phala. 
4.3.1 Tat Twam Asi
Tat Twam Asi dalam Cerita Batur Taskara terdapat pada:
          Eling kangen ring rabi muwah putra, nenten wenten ngatehang, tusing buwungan lakar nepukin sengkala, pejalan joh, makewehin, tukad, pangkung, rejeng, manget mangetang tresnane ring putra, raris mamarga gagelisin, ngetut pemargan Rabine, sida keni katutug rauh ring Tegal Jamur wewidangan Desa Aru aru. (Tim penyusun:1996:225).

Terjemahan:

          Ingat kepada istri dan anak yang tidak ada mengantar sudah pastinya akan menemui bahaya, perjalanan jauh yang sulit sungai, jurang, tebing maka semakin terbayang kasih sayangnya kepada sang anak, saat itu juga tanpa berpikir menyusul perjalanan istri dan berhasil disusul ditegal jamur di wilayah tegal aru-aru.
                                 
Dari kutipan di atas, sebagai umat Hindu pada umumnya diajarkan untuk selalu mengedepankan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, dengan menjalankan kebersamaan, selalu saling menjaga, menyayangi, saling menghargai, saling menjungjung rasa sepenanggungan, saling menghormati satu sama lain dan memiliki sikap toleransi terhadap semua komponen kehidupan di dunia ini.
4.3.2 Panca Yama Brata
            Panca Yama Brata dalam Cerita Batur Taskara terdapat pada bagian berikut:
Brahmacari (Menuntut Ilmu)
  Pacang pedek tangkil ring Ida Sang Maha Muni. Digelis raris Ida Pranda Istri nguningayang ring Ida Sang Adi Guru. “nah,..tunden suba tangkil. Raris rawuh  Sang Batur Taskara, nguntul ngandapada ngaturang bhakti. Nyakupang tangan. Pangandika Ida Dhang Guru, nah..lautang negak cening, kangen Bapa nyingakin tatawadan ceninge layu berag acum. Mirib sube uling makelo masusupan. Sang Batur Taskara matur, “Inggih, wiyakti pisan Ratu Pranda, mabwat tityang putun Singgih Pranda pedek tangkil, wantah pacang nunas wara amarta, gumanti mamanah nuhun pada manabe, santukan tityang dahating letuh, sadina dina malaksana memaling. Ledang Iratu nywecanin.(Tim penyusun:1996:215).

Terjemahan:

            Akan menghadap kepada Ida Sang Maha Muni. Cepat kemudian Ida Sang Pranda Istri memberitahukan kepada Ida Sang Adi Guru, Ya suruh datang menghadap. Lantas datang Batur Taskara menunduk hormat persembhyang sambil mencangkupkan tangan berkata Ida Dhang Guru, Ya silahkan duduk Ananda, kange bapak melihat raut wjah Ananda layu dan kurus kering. Mungkin sudah dari lama bersembunyi Sang Batur Taskara menjawab Ya benar sekali Ratu Peranda, penting sekali saya cucu Peranda datang menghadap memohon untuk membersihkan diri memang berkeinginan untuk meminta menjadi murid dikarenakan saya sangat kotor sehari-hari melakukan pencurian. Senang I Ratu merestui.

           Yadyastun kadi Gununge, miwah kadi Jagate baat letuh tiyange, sinah pacang lebur manados awu, telas ical sami kahanyudang. Waluya sakadi Tukad Gangga ngalimbak kasucian kayun Sang Maha Muni. Tulya kadi kadaleman segara. Ida Pranda Astapaka ledang mirengang.Saparilaksanane corah sane sampun lintang , maksami sampun kauningang. Tan critanan sasampune kadiksa, ngandika Ida Sang Maha Dhati., “nah..cening sawireh suba pragat Padiksaane Wang Bang Batur Witaskara adan ceninge, suud ngambek Saddatayi apange cening yatna tekening saparilaksana. (Tim Penyusun:1996:321).

Terjemahan:
Walau seperti gunung, atau seperti dunia berat dosa-dosa hamba saya ini  sudah pasti akan musnah menjadi abu. Habis hilang semua hanyut seperti air sungai gangga. Meluaskan kebersihan hati Sang Maha Muni. Tidak lain seperti kedalaman laut. Ida Pedanda Astapaka senang mendengar. Segala perbuatan yang jahat yang sudah lalu, semuanya diberitahukan. Lantas singkat cerita setelah di Diksa Ida Sang Maha Yani berkata, ya Anakku karena sudah selesai upacara padiksaanmu Wang Bang Batur Witaskara sekarang namamu. Janganlah lagi menuruti sad atatayi, agar dirimu waspada akan setiap tindakan.

           Dari kutipan di atas sangat jelas kita lihat bagian dari Panca Yama Brata yaitu Brahmacari (Menuntut Ilmu) Pada saat Batur Taskara menghadap Bhagawan Bajra Satwa untuk memohon untuk pembersihkan diri.

4.3.3 Panca Niyama Brata
            Panca Niyama Brata dalam Cerita Batur Taskara terdapat pada bagian berikut:
Apramada (tidak mengabaikan kewajiban)
           Tityang Batur witaskara iriki, tityang kapangandikayang Newasraya antuk Ida Naben tityang.Tityang mamuwatang mapidabdab mangdene sida pamuwat tityange mataki taki mangdane tan wenten nyengkalen”. Ida Sang Hyang Wairocana ngandika, “Eda cening budal ka Patalinagantun kalaning sasih karo, tusing buwungan lakar mangemasin mati yan mamurug”.Ida Sang Batur Taskara raris mangastuti. Kanjekan sampun ngedas lemah barak kangin, mabyayuan swaran ipun I goak ngegalok, makalukan ipun I asu ngulun. Sang Batur Witaskara madab daban budal sasampune puput manewasraya, tangkil ring Sang Adi Guru nguningang bawos niskalane. “nah..ento nyandang iringang cening”. (Tim Penyusun:1996:328).

Terjemahan:
Hamba Batur Witaskara disini, hamba diperintah mohon restu oleh Maha Guru. Hamba sangat berkepentingan bersiap supaya keinginan hamba tercapai supaya tidak ada halangan dan bahaya. Beliau Sang Hyang Wairocana berkata Anakku janganlah pergi ke Patalinagantung ketika sasih karo. Tidak urung bakal dijemput oleh kematian. Bilamana memaksakan diri. Ida Sang Batur Witaskara lanjut berdoa menjelang pagi merah di timur rame terdengar bunga gagak berbunyi rame terdengar lolongan anjing, Sang Batur Witaskara bersiap pergi. Setelah selesai memohon doa restu menghadap kepada Sang Adi guru memberitahukan Sabda Niskala. Ya itu patutlah dijalani olehmu muridku!

Eda pesan bani mamurug, apanga mapikolih pewangun tapan nanake”. Tan kacritayang sesampune kapawisikin antuk Sang Maha Muni, raris kapangandikayang mangda mamargi ngarya Dukuh. Yen amun napi suwen nyane nginengang kedarmane, ngelarang Sadhu budhi, rauh mangkin panganteg kalantakane. Maraga istri bajang jegeg, rauh ngungsi padukuhan, sarwi ngalap sekar, tetakehan nyane nudut kayun ngedengang madyane ramping, tur nglesang slendang, kanten susune nyangkih, ngalahang kanyangkihan nyuh gading (Tim penyusun:1996:221).



Terjemahan:

Jangan sekali berani melanggar supaya permohonan pertapaan anakku tidak sia-sia. Diceritakan sesudah diberikan restu oleh Sang Maha Muni. Lanjut disuruh berjalan membuat pasraman. Beberapa lamanya dharma melaksanakan sadhu budhi sampai sekarang takdir yang digariskan. Berwujud seorang gadis cantik mendatangi Pasraman lanjut memetik bunga, dengan penampilannya yang gemulai menggoda hati, memperlihatkan pinggangnya yang ramping dengan menjatuhkan selendang sehingga terlihat sepasang buah dadanya yang ranum mengalahkan ranumnya kelapa gading.

            Dari kutipan di atas sangat jelas dilihat bagian dari Panca Niyama Brata yaitu Apramada (tidak mengabaikan kewajiban). Dapat dilihat ketika Batur Witaskara tidak berani melanggar wahyu yang telah diterima agar tapa brata penerbusan dosanya tidak sia-sia.

4.3.4 Dasa Yama Brata
         Dasa Yama Brata adalah sepuluh macam pengendalian diri untuk tercapainya kesempurnaan rohani dan sejahtera jasmani serta bathin berupa dharma dan moksa.
Dama (sifat sabar dengan pandai menasehati diri sendiri)
Uning ring dukan Ida Sang Prabu raris mengkeb ngungsi katengah alase. Nenten kapanggih karuruh, sami malipetan sang ngruruh. Mungguwing Ida Sang Batur Taskara. Yan akudang dina suwen nyane maideran masusupan.
Dados marasa rasa ring kayun. Eling panyenengan Idane tanpa kerti ring jagate. Malaksana corah demen memaling nglaksanayang saddatatayi awak.  Kenken lakar panadin Ibane, yan Iba ngungsi Desa, tusing buwungan mati. Ah..melahan kapasraman ane suwung, anggon Idewek ngalih jalaran rahayu. Dumadak sweca Ida Sang Maha Biksu. Idewek lakar nunas madiksha. (Tim penyusun:1996:215).

Terjemahan:

         Tahu kemarahan dari Ida Sang Prabu kemudian bersembunyi di tengah Hutan. Tidak bisa ditemukan pengejarannya, semua kembali yang mengejar. Dicritakan Ida Sang Batur Taskara sudah berapa hari lamanya keliling bersembunyi, lapar, kehausan, kurus kering badanya tidak makan selama Beliau bersembunyi. Jadi merasa dihati ingat kehidupan Beliau tanpa arti di dunia. Berbuat jahat suka mencuri, melakukan Sad Atatayi, Bagaimana jadinya apabila ia mengungsi ke Desa tidak luput akan meninggal. Ya lebih baik ke Pasraman yang sepi, pakai kita mencari jalan yang benar, semoga diijinkan oleh Sang Maha Biksu. Saya akan mohon pembersihan diri.

           Doh antuk Ida masusupan raris manggihin Patapaan mawastu ical kaleson kaluwen miwah kasatan Idane majalaran atuk swecan Sang Maha Resi. Ida Pranda Istri srepan mataken alon.Saking napi pangrawuh Ceninge, simpang kapasraman, napi tatujon Idewane .Sang kapangandikain matur nguningayang tetujon pamargine, semalih sapasira puspatan Ida sane manggala ring Pasraman puniki .Uduh Cening, Ida Empu Bajra Satwa pinaka manggala Astapaka”, Sang Batur Taskara malih matur Ledang kadi Pranda pacang ngawakasang tityang.(Tim Penyusun:1996:215).

Terjemahan:

Jauh sudah Beliau bersembunyi kemudian menemukan persemadian.  Sehingga hilang kelelahan, kelaparan, dan kehausan Beliau berdasarkan restu oleh Sang Maha Rsi. Ida Pedanda Istri ramah bertanya pelan. Darimana kedatangan Ananda mampir ke Pasraman dan apa tujuan Ananda? Batur Taskara lantas menjawab serta mengutarakan maksud dan tujuan kedatangannya ke Pasraman ini. Kemudian lagi menanyakan siapakah nama pemimpin yang memiliki Pasraman ini, ya Ananda Ida Sang Empu Bajra Satwa yang menjadi pemimpin Astapaka. Kemudian Sang Batur Taskara lagi bertanya, senang seperti pedanda untuk memberitahukan Hamba.
            Pacang pedek tangkil ring Ida Sang Maha Muni. Digelis raris Ida Pranda Istri nguningayang ring Ida Sang Adi Guru. “nah,..tunden suba tangkil. Raris rawuh  Sang Batur Taskara, nguntul ngandapada ngaturang bhakti. Nyakupang tangan. Pangandika Ida Dhang Guru, nah..lautang negak cening, kangen Bapa nyingakin tatawadan ceninge layu berag acum. Mirib sube uling makelo masusupan. Sang Batur Taskara matur, “Inggih, wiyakti pisan Ratu Pranda, mabwat tityang putun Singgih Pranda pedek tangkil, wantah pacang nunas wara amarta, gumanti mamanah nuhun pada manabe, santukan tityang dahating letuh, sadina dina malaksana memaling. Ledang Iratu nywecanin.(Tim Penyusun:1996:215).

Terjemahan:

         Akan menghadap kepada Ida Sang Maha Muni. Cepat kemudian Ida Pranda Istri memberitahukan kepada Ida Sang Adi Guru, ya suruh datang menghadap. Lantas datang Sang Batur Taskara, menunduk hormat sambil mencangkupkan tangan. Berkata Ida Dhang Guru, ya silahkan duduk Ananda, kangen bapak melihat raut wajah Ananda layu dan kurus kering. Mungkin sudah dari lama bersembunyi Sang Batur Taskara menjawab, ya benar sekali Ratu Pedanda penting sekali Hamba cucu Pedanda datang menghadap memohon untuk membersihkan diri memang berkeinginan untuk menjadi murid dikarenakan saya sangat  kotor sehari-hari melakuan pencurian, senang Ratu merestui.

         Dari kutipan di atas pada bagian Dasa Yama Brata yaitu Dama (sifat sabar dengan pandai menasehati diri sendiri). Dapat dilihat ketika Batur Taskara menyadari telah menjalani hidupnya yang tanpa arti, kemudian Batur Taskara memutuskan untuk mencari pasraman, memohon petunjuk untuk menebus dosa-dosanya dan mohon pembersihan diri.

4.3.5 Karma Phala
         Karma Phala adalah hasil dari perbuatan baik yangtelah dilakukan maupun yang akan dilakukan.
Parabdha Karma Phala (hasil perbuatan yang dilakukan pada kehidupan sekarang dan hasilnya dinikmati sekarang juga tanpa sisanya lagi).
           Padum titah Ida Sang Hyang Widhi, wiyakti nenten dados kelidin, sakadi katururan Batur Taskara sane durmanggala corah. ngewehin parasemeton ring wawidangan Desa Nila Çrengga.Dados katur uningang ring Ida Sang Prabu Jagat Patali. Antuk Sang Para Pandita.Wiyakti wantah Ida Sang Prabu pradnyan ngamel jagat. Sayang ring Para Pandita. Pamuput raris kadauhin olih Para Tandamantri. Rauh ring wadupalitannyane nyerepang sanenguragada. Kapangandikayang ngamademang.  (Tim Penyusun:1996:213).

Terjemahan:       
         Sudah menjadi takdir oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa memang tidak boleh dihindari. Seperti Cerita Batur Taskara yang berbuat jahat. Membuat resah warga masyarakat di wilayah Desa Nila Crengga. Sehingga diberitahukan kepada Raja Kerajaan Patali. Oleh Sang Pandita. Benar bahwa Beliau Sang Prabu bijaksana dalam memerintah Negara. Hormat kepada Para Pandita. Pada akhirnya diberitahukan kepada Para Mentri. Sampai pada semua masyarakatnya menyelidiki yang membuat huru-hara menyuruh membunuh Batur Taskara takut kemudian melarikan diri.

           Pacang pedek tangkil ring Ida Sang Maha Muni. Digelis raris Ida Pranda Istri nguningayang ring Ida Sang Adi Guru. “nah,..tunden suba tangkil. Raris rawuh  Sang Batur Taskara, nguntul ngandapada ngaturang bhakti. Nyakupang tangan. Pangandika Ida Dhang Guru, nah..lautang negak cening, kangen Bapa nyingakin tatawadan ceninge layu berag acum. Mirib sube uling makelo masusupan. Sang Batur Taskara matur, “Inggih, wiyakti pisan Ratu Pranda, mabwat tityang putun Singgih Pranda pedek tangkil, wantah pacang nunas wara amarta, gumanti mamanah nuhun pada manabe, santukan tityang dahating letuh, sadina dina malaksana memaling. Ledang Iratu nywecanin.(Tim Penyusun:1996:215).

Terjemahan:
 Akan menghadap kepada Ida Sang Maha Muni. Cepat kemudian Ida Pranda Istri memberitahukan kepada Ida Sang Adi Guru, ya suruh datang menghadap. Lantas datang Sang Batur Taskara, menunduk hormat sambil mencangkupkan tangan. Berkata Ida Dhang Guru, ya silahkan duduk Ananda, kangen bapak melihat raut wajah Ananda layu dan kurus kering. Mungkin sudah dari lama bersembunyi Sang Batur Taskara menjawab, ya benar sekali Ratu Pedanda penting sekali Hamba cucu Pedanda datang menghadap memohon untuk membersihkan diri memang berkeinginan untuk menjadi murid dikarenakan saya sangat  kotor sehari-hari melakuan pencurian, senang Ratu merestui.

            Tityang Batur witaskara iriki, tityang kapangandikayang Newasraya antuk Ida Naben tityang.Tityang mamuwatang mapidabdab mangdene sida pamuwat tityange mataki taki mangdane tan wenten nyengkalen”. Ida Sang Hyang Wairocana ngandika, “Eda cening budal ka Patalinagantun kalaning sasih karo, tusing buwungan lakar mangemasin mati yan mamurug”.Ida Sang Batur Taskara raris mangastuti. Kanjekan sampun ngedas lemah barak kangin, mabyayuan swaran ipun I goak ngegalok, makalukan ipun I asu ngulun. Sang Batur Witaskara madab daban budal sasampune puput manewasraya, tangkil ring Sang Adi Guru nguningang bawos niskalane. “nah..ento nyandang iringang cening”.(Tim Penyusun:1996:221).

Terjemahan:   
          Hamba Batur Witaskara disini, hamba diperintah mohon restu oleh Maha Guru. Hamba sangat berkepentingan bersiap supaya bisa keinginan hamba tercapai supaya tidak ada halangan dan bahaya. Beliau Sang Hyang Wairocana berkata Anakku janganlah pergi kepatalinagantun ketika sasih karo. Tidak urung bakal dijemput oleh kematian bilamana memaksakan diri. Ida Sang Batur Witaskara lanjut berdoa menjelang pagi merah di timur rame terdengar burung gagak berbunyi rame terdengar lolongan anjing. Sang Batur Witaskara bersiap pergi. Setelah selesai memohon doa restu menghadap kepada Sang Maha Guru memberitahukan Sabda Niskala. Ya itu patutlah dijalani olehmu muridku.

Eda pesan bani mamurug, apanga mapikolih pewangun tapan nanake”. Tan kacritayang sesampune kapawisikin antuk Sang Maha Muni, raris kapangandikayang mangda mamargi ngarya Dukuh. Yen amun napi suwen nyane nginengang kedarmane, ngelarang Sadhu budhi, rauh mangkin panganteg kalantakane.Maraga istri bajang jegeg, rauh ngungsi padukuhan, sarwi ngalap sekar, tetakehan nyane nudut kayun ngedengang madyane ramping, tur nglesang slendang, kanten susune nyangkih, ngalahang kanyangkihan nyuh gading.(Tim Penyusun:1996:217)

Terjemahan: 
         Jangan sekali berani melanggar, supaya permohonan pertapaan anakku tidak  sia-sia. Dicritakan sesudah diberikan restu oleh Sang Maha Muni. Lanjut disuruh berjalan membuat pasraman. Beberapa lamanya dharma melaksanakan Sadhu Budhi. Sampai sekarang takdir yang digariskan. Berwujud seorang gadis cantik mendatanggi Pasraman lanjut memetik bunga dengan penampilannya yang gemulai menggoda hati, memperlihatkan pinggangnya yang ramping. Dengan menjatuhkan selendang sehingga terlihat sepasang buah dadanya yang ranum mengalahkan ranumnya kelapa gading.

           Maimpugan ambun nyane miik sumirit, ngatag atag kalulutan, Ida Wang Bang Batur Witaskara keni kasemaran, ledang maningak nyadu sade mataken banban alon. “Uduh Dewa sang maraga istri, saking napi pangrawuh Idewane, rawuh ka padukuhan sepi, samalih praragaan, parilaksanan I dewane sakadi kasungsutan, lascarya nenten mangetang baya masusupan, sayang pisan warnin Idewane, mas juwitan tiyange”.Sang katakenin sisigan matur, maduluran toyan panon ngasih asih. “Inggih mawinan tityang nglaku, makaon nyingid, tityang kapaksa antuk I biyang Aji matemu sareng ring sane nenten nyanten manahang tityang, mawinan tityang rawuh mangkin, mamanah nunas paswecan Sang Tapa, mangdane uning ring kawigunaning wang jero, nabdabang eteh eteh toya pasiraman”.(Tim Penyusun:1996:217).

Terjemahan:
         Berdebaran harum yang menggugah naluri hingga membuat Batur Taskara  kena kasmaran senang melihat banyak bertanya pelan-pelan. Wahai gadis dari manakah gerangan anda mendatangi pasraman yang sunyi ini, juga seorang diri tingkah lakumu seperti kesedihan ikhlas layaknya tidak peduli akan bahaya. Sayang sekali wajahmu Mas Juitanku. Sang gadis pun tersendu-sendu, benar makanya hamba lari pergi menyepi. Hamba dipaksa oleh ibu dan ayah bertemu dengan yang tidak hamba senangi, makanya hamba datang sekarang berkeinginan mohon welas Sang Tapa, supaya tahu dengan kegunaan seorang manusia menyiapkan alat-alat permandian.

          Maka muah nabdabang pawedaan, dumadak mangda sida mamanggih guna kapatibratan”. Ida Sang Batur Witaskara ledang pisan kayune masekar antuk lulut kasmaran.Beh.... ene mirib pikolih yoga semertine, manadi anak istri ayu tanpa tandingan ngaluwihing parilaksana, ledang manuronin kepadukuhan kapiolas teken sang tapa kasengsaran. “lautang mai dini uduh mas beline idewa, nenten sandang malih bawosang, makaronan salulut”.(Tim Penyusun:1996:219).

Terjemahan:

         Selain itu menyiapkan pemujaan semoga supaya bisa menemukan guna kapatibratan. Ida Sang Batur Witaskara sangat bahagia hatinya mendengar. Tidak lain seperti pohon merayap kepanasan. Didatangi oleh hujan gerimis. Semoga senang hatinya berbunga dengan kasmaran. Ya mungkin ini menjadi pahala atas yoga smertiku selama ini, menjelma menjadi gadis cantik nan ayu tidak dapat tertandingi melebihi penampilan tingkah lakunya yang telah datang kepasraman, dimana sangat diharapkan olehku sebagai brahmana yang sedang sengsara. Kemarilah anakku, jangan lagi dibicarakan hal lainnya. Mari kita jalin rasa hati kita disini bersama.
          Rahina wengi setata ngulurin kalulutan, sampun ngawentenang putra lanang semalih bagus, kalangkung antuk ngemban nyayangang, ring wawu uning mabawos ngauningin Biyang Aji, kala punika Sang Istri Maya matur, Inggih Ratu Pranda, ngiring Ratu Pranda budal kaPatalinagantun.Saking suwe tityang ngajap ajap, tangkil ring Ida anake lingsir masa Idane tan pacang sweca, santukan Ida sampun madue putu brahmana ngaluwihing laksana. Sapunika marep ring anggan I ratu, mungguwing Ida Sang Batur Witaskara manulak, “eda kaden beli nungkasin, nyarengin budal kePatali, sawireh Beli tusing dadi majalan jani”. Sawireh kanjekan sasih karo.(Tim Penyusun:1996:219).

Terjemahan:

Siang malam terlewatkan tanpa memenuhi hasrat asmara, sehingga terlahir seorang putra yang suputra betapa sangat mereka cintai dan sayangi dalam mendidiknya apalagi ketika sang anak memanggil mereka sebagai Ayah dan Ibu saat itu istrimaya menyatakan sesuatu Wahai suamiku Brahmana marilah kita pergi kepatalinagantun. Sudah sekian lamanya saya berharap-harap bertemu kedua orang tuanya untuk memohon restunya, karena saat ini mereka telah memiliki seorang cucu Brahmana yang maha utama. Maka dijawab oleh Batur Taskara, Janganlah Adinda mengira aku menolak permintaanmu. Ikut pergi ke patalinagantun, dikarenakan saat ini adalah Sasih karo.

         Eling kangen ring rabi muwah putra, nenten wenten ngatehang, tusing buwungan lakar nepukin sengkala, pejalan joh, makewehin, tukad, pangkung, rejeng, manget mangetang tresnane ring putra, raris mamarga gagelisin, ngetut pemargan Rabine, sida keni katutug rauh ring Tegal Jamur wewidangan Desa Aru aru.Masawang jengah saha wacana welas asih, “Ampurayang Beli, Adi, cara anak las Beli ngutang Rabi, tur digelis ngambil putra, kaharsa arsa sambilang memarga, katah Desa desane kalintangin, seos sane kahimpasin makadi panitikan, Katang lumbang, marerepan Ida ring Rabut mujung.(Tim Penyusun:1996:235).

Terjemahan:

Ingat kepada istri dan anak yang tidak ada mengantar sudah pastinya akan menemui bahaya, perjalanan jauh yang sulit, sungai, jurang, tebing maka semakin terbayang kasih sayangnya kepada sang anak, saat itu juga tanpa berpikir menyusul perjalanan istri dan berhasil disusul ditegal jamur di wilayah tegal aru-aru. Dengan penuh rasa penyesalan berucap dengan welas asih. Maafkan aku adindaku, bukannya aku tega membiarkan kepergian dengan langsung memeluk putranya yang digendong sambil melanjutkan perjalanan. Banyak Desa yang telah dilewati begitu juga yang disinggahi katang lumbang dan menginap dirabut mujung.


         Sering marerepan ring margi, benjang nyane dauh tiga, rauh ring Tepisiring Negara, Sang Istrimaya ngrereh dedalihan ngangken lesu, “Inggih Ratu Pranda, becikan mararyan, tityang nenten mresidayang mamargi, iriki becik genahe mararyan ring batan wit kepuhe”.Wiyakti wantah panumayane, seda sedeng becika pisan duk punika, Ida Sang Prabhu kicalan Kambing luh, kaserepang antuk Panjak panjak Ida Sang Prabhu, katah Panjak panjake mepahan pemargi, kacingak antuk Ida Wang Bang Witaskara,Jalan masingidan Adi, anak liyu teka magrudugan.(Tim Penyusun:1996:235).

Terjemahan:

         Sering menginap dijalanan keesokan hari jam tiga tibalah mereka diperbatasan nagara Patali. Sang Istrimaya mencari alasan mengatakan lelah. Ya Ratu Pranda lebih baik berhenti sejenak. Saya tidak bisa berjalan disini tempatnya bagus beristirahat dibawah pohon kepuh. Benar sekali sudah waktunya meninggal saat baik sekali waktu itu. Ida Sang Prabu kehilangan kambing betina. Diselidiki oleh rakyat Ida Sang Prabu dilihat banyak prajurit membagi perjalanan memburu kambing tersebut hal itu dilihat oleh Batur Taskara sebaiknya mari kita bersembunyi banyak para prajurit berdatangan.

          Sane rauh punika sami eling ring Ida Batur Taskara, tumuli raris ngenampekin.Wenten I ratu manggihin Kambing, druwen Ida Sang Prabhu ical, durung kepanggih beh, tusing ada Bapa nepukin, tandumade Sang Istrimaya sareng putra, manados Kambing, nengok ring gook kepuhe, Panjak panjake sami raris ngatonang.....”Ih tusing suwud suwud corah ngeletuh Jlemane ene, ento apa Kambinge ditu engkebange”. Sang Batur Taskara manolih, tengkejut nyingakin Kambing, santukan sane i wawu Rabin Idane iriki mengkeb, klingas klingus jengis, raris katebek, kapendem ring batan punyan Ambulune. Asapunika kasinahane Beli, nenten je dados kelidin, panitah Ida Sang Hyang Widhi, katuut baan karma wesanane.(Tim Penyusun:1996:337).

Terjemahan:
            
           Yang datang itu semua ingat kepada Ida Batur Taskara kemudian mendekat dan bertanya adakah gerangan anda mendapati kambing milik Sang Prabu yang belum kami temukan dijawab oleh Batur Taskara. Tidak ada saya melihat tiba-tiba Istrimaya bersama putranya berubah menjadi kambing keluar dari balik pohon kepuh tempat peristirahatanya tadi hal tersebut dilihat oleh prajurit kerajaan. Hai tidak henti-hentinya jahat manusia ini itu apa kambingnya disitu disembunyikan. Batur Taskara menoleh terkejut melihat kambing. Karena sebelumnya disana istri dan anaknya bersembunyi, tidak bisa berbuat dan berkata apa-apa kemudian ditikam dikubur dibawah pohon ambulu. Begitulah jika memang sudah menjadi takdir tidak ada seorang pun yang menghindarinya karma perbuatannya.

                 Dari kutipan di atas pada bagian Karma Phala yaitu Parabdha Karma Phala (perbuatan yang dilakukan sekarang dan hasilnya diterima sekarang juga). Dapat dilihat ketika Batur Taskara melakukan perbuatan jahat dan menjalani kehidupannya dan menyadari perbuatannya hingga bertobat, kemudian Batur Taskara bertemu dengan seorang gadis cantik akhirnya menikah dan mempunyai seorang anak yang suputra. Tidak lama  kemudian istrimaya menginginkan untuk pergi kepatali pada saat sasih karo, disanalah Batur Taskara mengingkari janji yang telah disepakatinya  dan akhirnya mati terbunuh karena telah dituduh mencuri kambing yang hilang.

BAB V PENUTUP
5.1  Simpulan
       Sinopsis adalah Cerita ringkas dari sebuah Cerita Batur Taskara yaitu Batur Taskara adalah seorang penjahat yang dikemudian hari menyesali perbuatan akhirnya mati karena terbunuh.
Nilai-nilai pendidikan agama Hindu yang terkandung dalam Cerita Batur Taskara antara lain: Tat Twam Asi, Panca Yama Brata, Panca Niyama Brata, Dasa Yama Brata, dan Karma Phala. Tat Twam Asi dalam Cerita Batur Taskara Terdapat pada saat teringat kepada istri dan anakknya akan pergi jauh dan pastinya akan menemui bahaya karena kalewat sayangnya Batur Taskara akhirnya langsung disusul istri dan anaknya. Panca Yama Brata bila dikaitkan dalam Cerita Batur Taskara terdapat pada bagian Brahmacari (Menuntut ilmu) yaitu pada saat Batur Taskara menghadap Bhagawan Bajra Satwa memohon untuk pembersihan diri dan sangat berkeinginan untuk menjadi muridnya. Panca Niyama Bratha bila dikaitkan dalam Cerita Batur taskara terdapat dalam bagian  Akroda (tidak marah) dapat dilihat ketika istrinya mengajak Batur Taskara untuk pergi ke patalinagantun dan dijawab oleh Batur Taskara bahwa pada saat itu adalah sasih karo yaitu pantangan baginya untuk pergi kepatali pada saat itu. dan Apramada (tidak mengabaikan kewajiban) dapat dilihat ketika Batur Witaskara tidak berani melanggar perjanjian yang telah disepakati agar permohonan pertapaannya tidak sia-sia. Dasa Yama Brata (Sepuluh macam pengendalian diri untuk terapainya kesempurnaan rohani dan sejahtera jasmani batin berupa dharma dan moksa). Dama (sifat sabar dan pandai menasehati diri sendiri) terlihat ketika Batur Taskara menyadari telah menjalani hidupnya yang tanpa arti, kemudian Batur Taskara memutuskan untuk mencari pasraman, memohon petunjuk untuk menebus dosa-dosanya dan memohon pembersihan diri. Karma Phala bila dikaitkan dengan Cerita Batur Taskara terdapat dalam bagian Parabdha Karma Phala (hasil perbuatan yang dilakukan sekarang dan akan dinikmati sekarang juga tanpa sisanya lagi).

5.2  Saran-saran
          Dari pemaparan uraian dalam penelitian ini, dapat disampakan beberapa saran sebagai berikut:
5.2.1     Kepada masyarakat secara umum agar senantiasa dapat mengamalkan Nilai-nilai pendidikan agama Hindu yang terkandung dalam karya sastra Cerita Batur Taskara.
5.2.2      Hendaknya orang tua dalam mendidik anak-anaknya senantiasa menggunakan istilah-istilah yang terkandung dalam karya satra sekaligus secara tidak langsung memperkenalkan lebih dini kepada anak-anaknya tentang karya sastra tradisional seperti Cerita Batur Taskara.
5.2.3     Kepada generasi muda pada khususnya yang beragama Hindu,diharapkan agar membiasakan diri untuk membaca cerita yang mengandung ajaran Agama, jangan cepat terpengaruh dengan kebudayaan asing yang tidak sesuai dengan amal Pancasila dan melestarikan budaya daerah Bali sebab melalui membaca cerita akan dapat menghayati ajaran Agama.
5.2.4     Diharapkan kepada para peneliti agar melakukan penelitian-penelitian terhadap aspek-aspek yang lain dalam Cerita Batur Taskara yang belum tergali pada penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Djaka, tt. Kamus Lengkap. Bahasa Indonesia. Surabaya : Pustaka Mandiri

Gautama, Wayan Budha, Ni Wayan Sariani. 2009. Kamus Bahasa Bali. Surabaya : Paramita.

Hardaniwati. 2003. Kamus Sastra. Bandung: Angkasa.

Subagiasta, I Ketut. 2007. Etika Pendidikan Agama Hindu. Surabaya: Paramita.

Tim Penyusun, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

                        , 2012. Metodologi Penelitian. (Buku Ajar) STKIP Agama Hindu Amlapura

Zaidan, A. R, dkk. 1996. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGGAMBARAN SORGA DAN NERAKA DALAM TEKS JAPA TUAN

TARI REJANG LILIT DALAM PUJAWALI DI PURA DADIA ARYA MAJA KELING DESA CULIK KECAMATAN ABANG KABUPATEN KARANGASEM