PENGGAMBARAN SORGA DAN NERAKA DALAM TEKS JAPA TUAN


PENGGAMBARAN SORGA DAN NERAKA
DALAM TEKS JAPA TUAN
Oleh
I Wayan Sudiarta


ABSTRAK
Umat Hindu mempunyai keyakinan tentang adanya Sorga dan Neraka. Namun bagi pemikiran segelintir orang atau masyarakat itu hanya sebatas teori semata. Untuk mewujudkan sesuatu yang abstrak tersebut agar bisa diyakini menjadi sesuatu yang nyata diperlukan suatu media atau sarana yang mampu mewujudkan hal tersebut melalui artikel Penggambaran Sorga dan Neraka dalam Teks Japa Tuan dengan membahas dua hal, yakni (1) Bagaimana latar belakang Sorga dan Neraka? (2) Bagaimana Penggambaran Sorga dan Neraka dalam Teks Japa Tuan? Penelitian ini menggunakan metode penelitian sastra yaitu metode kualitatif. Jenis datanya adalah dokumen, sumber datanya primer dan sekunder. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode pencatatan dokumen. Serta metode analisis datanya adalah metode komparatif dan deskriptif dengan teknik argumentasi. Hasil pembahasan dari kedua hal tersebut menunjukan bahwa (1) Latar Belakang Sorga dan Neraka yaitu adanya Keyakinan terhadap Karmaphala bahwa setiap perbuatan ada hasilnya baik dinikmati sekarang maupun di akhirat (Sorga dan Neraka). (2) Penggambaran Sorga dan Neraka dalam Teks Japa Tuan yaitu: Penggaambaran Sorga diidentikan dengan keberadaan meru yang menempati sembilan penjuru mata angin beserta dengan tingkatannya. Dan Penggambaran Neraka terdapat Tegal penangsaran, Batu Macepak, Titi Ugal Agil,  Kawah Tambra Gohmuka.           

BAB I PENDAHULUAN

1.1 latar  Belakang
Kehidupan manusia penuh dengan keunikan yang menempatkan diri sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, manusia di muka bumi ini tidak ada yang sama baik secara fisik dan psikologis. Perbedaan ini diterima sebagai warna kehidupan, karena manusia tidak bisa mengingkarinya. Sedangkan sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan bertahan hidup jika belum mampu berinteraksi dengan individu dan ciptaan Tuhan yang lain. Manusia baru akan tampak apabila berada dalam lingkungan sosial serta akan menunjukkan eksistensi, jati diri, dan kemampuannya. Selain kedua hal tersebut, manusia perlu juga kebutuhan filosofis sebagai penyeimbangnya (Wiana, 2003: 34). Kebutuhan filosofis adalah kebutuhan manusia untuk bisa mengarahkan hidupnya melalui pedoman agama.
Agama memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Manusia membutuhkan agama untuk memenuhi kebutuhan rohani. Serta mendapat ketenangan dalam hidupnya. “Agama adalah kepercayaan kepada Tuhan serta segala sesuatu yang terkait dengan anjuran atau petunjuk-Nya” (Suasthi dan Swastawa, 2008: 1). Dengan kata lain agama dapat memberikan rasa aman dan memiliki ketetapan hati dalam menghadapi hidup. Bagi umat manusia yang berpegang teguh pada-Nya akan terimbas oleh kebenaran dan kebaikan agama. Imbas itu dapat diketahui dari pengetahuan keagamaan yang semakin meningkat, keyakinan agama semakin menguat, perilaku agama semakin konsisten, serta pengamalan keagamaan yang semakin intensif. Sehingga dengan demikian pengaruh kekuatan agama terhadap diri manusia terlihat dalam berbagai dimensi kehidupan manusia.
Dari sekian agama yang berkembang di Indonesia, Hindu merupakan agama yang memiliki ajaran universal dan fleksibel (Jendra, 1998: 166). Hindu bersifat umum yang bisa diterima oleh budaya lain, tentunya budaya yang sesuai. Fleksibel lebih menekankan bahwa Agama Hindu itu luwes dan tidak kaku.
Ajaran Agama Hindu didasarkan pada kitab suci Weda yang dapat dipahami secara utuh melalui tattwa, susila dan upacara. Ketiganya tidaklah berdiri sendiri, namun saling berhubungan, baik dalam aspek teoretis maupun realitasnya. Aspek tattwa atau filsafat merupakan inti ajaran Agama Hindu, sedangkan aspek susila atau etika merupakan pelaksanaan ajaran Agama Hindu dalam kehidupan masyarakat sehari-sehari mengenai perbuatan baik dan benar. Aspek upacara atau ritual merupakan yadnya, persembahan atau pengorbanan suci yang tulus ikhlas kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dari ketiga aspek tersebut yang paling terlihat dalam kehidupan bermasyarakat mengenai baik dan buruk tindakan yang dilakukan, ini lebih menitik beratkan pada aspek susila. Kecendrungan kedua sifat tersebut dalam Hindu sering dikenal dengan konsep rwabhineda yang akan mengarahkan manusia mencapai Sorga atau Neraka.
Secara umum umat Hindu mempunyai keyakinan tentang adanya Sorga sebagai tempat bagi orang yang berbuat kebaikan dan sebaliknya Neraka berimplikasi pada suatu tempat bagi orang yang berbuat keburukan setelah meninggal nantinya. Namun bagi pemikiran segelintir orang atau masyarakat itu hanya sebatas teori semata, yang terpenting saat ini adalah mewujudkan sesuatu yang abstrak tersebut agar bisa diyakini menjadi sesuatu yang nyata, sehingga seseorang itu takut berbuat keburukan dan memupuk jiwa kebaikan dalam kehidupan. Dalam hal ini diperlukan suatu media atau sarana yang mampu mewujudkan hal tersebut yaitu melalui suguhan dalam bentuk teks cerita bernuansa keagamaan sebagai penggambaran Sorga dan Neraka itu sendiri. Seperti yang diketahui karya klasik tradisional Bali sudah mulai memudar keberadaannya di tengah masyarakat seiring dengan perkembangan zaman. Zaman boleh berkembang, namun harus tetap menjunjung tinggi kearifan lokal.
Kearifan lokal tersebut mengacu pada kesustraan Bali yang menjiwai nuansa kehinduan diadopsi atau dikemas menjadi sebuah seni baik dalam bentuk puisi maupun prosa. Karya klasik yang berbentuk puisi misalnya: kekawin, palawakya, kidung, gaguritan, dan berbentuk prosa seperti: satua, tutur, lontar, parwa, serta teks (Anom, 1975: 45). Japa Tuan merupakan kesustraan prosa klasik yang penyajiannya dalam bentuk teks, dipandang sangat sesuai untuk menuangkan pemahaman umat Hindu, disamping sebagai salah satu bentuk kesustraan Bali juga kaya akan nuansa keagamaan tentunya tentang Penggambaran Sorga dan Neraka yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, penulis tertarik menyusun artikel tentang Penggambaran Sorga dan Neraka dalam Teks Japa Tuan.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang dikaji dalam artikel ini adalah sebagai berikut.
1.        Bagaimana latar belakang Sorga dan Neraka?
2.        Bagaimana Penggambaran Sorga dan Neraka dalam Teks Japa Tuan?

1.3   Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.        Mendeskripsikan latar belakang Sorga dan Neraka.
2.        Mendeskripsikan Penggambaran Sorga dan Neraka dalam Teks Japa Tuan.

1.4   Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan artikel ini adalah sebagai berikut:
1.        Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber bacaan dan sumber informasi kepada umat Hindut, sebagai sumbangan pikiran terkait dengan Penggambaran Sorga dan Neraka dalam Teks Japa Tuan, sehingga bisa memperkaya khasanah pengetahuan Sorga Neraka dan  menambah wawasan bagi umat Hindu.
2.        Manfaat Praktis
Diharapkan hasil penelitian ini, dapat dijadikan pedoman bagi umat Hindu dan para pembaca untuk mengarahkan pikiran, ucapan dan tindakan diri sendiri sesuai dengan Penggambaran yang terkandung dalam Teks Japa Tuan. Lebih lanjut hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai petunjuk bagi umat Hindu dalam mempertebal sradha (keyakinan) tentang Sorga dan Neraka.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Penggambaran Sorga
Sorga berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu dari urat kata Svarga yang berarti alam dewa atau kahyangan (Surada, 2007: 305). Hal senada juga dikemukakan Budi Adnyana (2011: 32) bahwa, “Sorga adalah kahyangan atau alam yang jauh lebih dari Brahmajyotir”. Menurut Titib (2006: 465) “Svarga adalah pahala dari perbuatan baik yang dinikmati roh di alam baka, berupa kebahagian dan kegembiraan”. Lebih lanjut Sorga adalah suatu tempat bercahaya yang terus bersinar, tempat manusia selama hidupnya tiada pernah melupakan Tuhan serta berbuat kebenaran (Madrasuta, 2006: 90). Sedangkan Svami Sivananda (2005: 104) menyatakan bahwa, Sorga adalah tempat kenikmatan pikiran yang lebih kuat, halus dan murni.
Dalam teks Putru Pasaji (Disbud Provinsi Bali, 2008: 11-16) Penggambaran Sorga yaitu : Sorga yang berpuncakkan jenis-jenis permata, di utaranya Sorga permata dari batu matahari, di selatan Sorga permata dari batu bulan, di tengah Sorga dari jenis permata seperti widurya, kusyaraga, intan, mirah, batu delima, permata bhyoha, semuanya berkumpul pada puncak di tengah. Ada Sorga sembilan depa luasnya, dibawahnya singgasana perak, padma perak namanya Bhumiloka, Sorga dibawahnya terdapat tunjung tembaga namanya Bwahloka, Sorga padma besi yang digambari terompet namanya Mahaloka, Sorga padma emas besarnya tiga depa namanya Jana Loka, Sorga dibawahnya padma permata digambari Trisula namanya Satyaloka, Sorga temboknya terbuat dari emas dipasangi mirah dan intan. Terlihat juga penggambaran Sorga sesuai sembilan arah mata angin yaitu : di sebelah timur tampak Sorga berwarna putih dengan meru bertumpang sembilan beratap perak tempat orang yang teguh melaksanakan brata, di selatan ada Sorga mirah dengan meru bertumpang sembilan atapnya tembaga yang mengkilap tempat orang tekun memuja, menyalakan dupa dan ulet mencari nafkah, di sebelah barat Sorga berwarna kuning dengan meru emas bertumpang sembilan tempat orang teguh melaksanakan kebajikan, di sebelah utara Sorga berwarna hitam yang temboknya terbuat dari besi dengan meru bertumpang sembilan tempat orang berbuat kebajikan, di sebelah timur laut Sorga berwarna biru dengan meru dari perunggu hasil dari orang melaksanakan upacara, di tenggara Sorga berwarna campuran bertumpang sembilan tempat untuk melihat di Indrapada sebagai hasil sebagai gadis suci dan jejaka suci, di barat daya Sorga dari logam campuran dengan baunya harum semerbak sebagai hasil orang yang bertanggungjawab pada perbuatan dan setia pada ucapan, di barat laut Sorga gangsa dengan ditanami jenis-senis kembang yang indah sebagai hasil dari orang yang setia pada suami atau istri, di tengah ada Sorga yang lebih baik dari Sorga seluruhnya dengan meru dari jenis permata dan terdapat vidyadhara-vidyadhari membawa perhiasan sebagai hasil dari seorang wiku yang tekun melaksanakan tapa brata, mengetahui pengetahuan tentang moksa.
Penggambaran Sorga di dalam Svargarohanaparva sangat singkat, tetapi menunjukan ciri-ciri umum tentang Sorga, antara lain tempat cahaya terang benderang, tempat kediaman para devata, dan mahkluk-mahkluk kahyangan lainnya seperti vidyadhara, vidyadhari serta adanya suara terompet kerang dan para penari Sorga (Titib, 2006: 81).
Disamping itu penggambaran Sorga juga bisa dilihat dari ciri-ciri kelahirannya (Sorga Syuta) seperti, “berani, sehat, menikmati ketenangan yang halal, berbakti kepada Tuhan, menerima harta benda, kehormatan dan cinta dari orang-orang besar dan orang-orang suci” (Oka dalam Subagiasta, 2007: 19).
Jadi dapat disimpulkan bahwa pengggambaran Sorga pada intinya tempat menyenangkan, indah, mulia dan penuh keagungan berdasarkan tingkatan atau bagian yang terdiri dari 7 bagian merupakan alam yang terluhur, termulia bagi orang menyinarkan jiwanya. Sorga juga digambarkan berdasarkan sembilan arah mata angin dan warnanya serta Sorga berdasarkan ciri-ciri tempat kediaman para devata, mahkluk-mahkluk kahyangan seperti vidyadhara, vidyadhari, penari Sorga dan ciri-ciri kelahirannya (Sorga Syuta).

2.2.Penggambaran Neraka
Banyak orang berkeyakinan bahwa Neraka merupakan sebuah tempat yang tidak diharapkan karena dipandang mengerikan, menakutkan dan penuh penderitaan. Menurut Titib (2006: 462) “Neraka adalah alam penderitaan, tempat penyiksaan bagi roh yang melakukan karma buruk di alam baka”. Hal senada juga dikemukakan oleh Madrasuta (2006: 102) “Neraka adalah tempat penyiksaan yang sangat mengerikan”. Sedangkan menurut Budi Adnyana (2011: 34) Neraka merupakan sebuah alam yang diperuntukan bagi para pendosa. Lebih lanjut Svami Sivananda (2005: 124) menyatakan bahwa, “Neraka adalah keadaan mutlak dan pemisahan penuh dari Tuhan, yang mana manusia tidak merasakan cahaya dari kasih, kesucian dan kebenaran-Nya”.
Sementara Rini (2013: 2-3) menyatakan bahwa :
Neraka dicapai oleh roh-roh dari orang-orang berdosa merupakan tempat penyucian bagi roh tersebut, sehingga kelak dapat mencapai roh yang lebih mulia. Neraka tersebut diibaratkan seperti tempat untuk menempa logam menjadi emas murni. Emas yang sudah berkarat harus dibakar, digosok-gosok, dipukul, yang kelihatannya menyakiti emas tersebut, tapi justru tujuannya adalah untuk memurnikannya sehingga dapat kembali menjadi emas yang indah berkilau.

Dalam karya sastra Bali Neraka digambarkan sebagai tegal penangsaran, batu macepak, titi gonggan,  kayu curiga (Titib, 2006: 19-20). Tegal penangsaran adalah tanah tandus tempat dijemurnya roh, batu macepak berfungsi menjepit roh, titi gonggan merupakan jembatan yang bila dilalui akan melemparkan roh yang melewatinya ke dalam kawah naraka,  kayu curiga  berupa pohon dengan daun-daunnya seperti keris yakni bila digoyangkan melukai roh-roh yang berteduh di bawahnya. Di Bali tempat itu diyakini di Dalem Puri Besakih.
Sedangkan Kelahiran dari Neraka (Neraka Syuta) memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
(1) Anapatya=orang yang tidak bisa mempunyai keturunan,                         (2) akamarasa=orang yang tidak mendapatkan kenikmatan dalam persetubuhan/wandu, (3) kliwa=orang yang kelaminnya dihilangkan, (4) walawadi=orang perempuan yang bukan perempuan atau banci, (5) kilu=orang yang gemuk bunder, (6) mangsi=orang yang anggota rahasianya bengkak atau ditumbuhi daging, (7) pitti=orang yang berpenyakit asma atau orang yang busung perutnya, (8) kujihwa=orang yang bisu, (9) anggu=orang yang berpenyakit tulang, (10) mutri=orang yang membuang air kecil terus-terusan, (11) bhinostha=orang sumbing, (12) wadhira=tuli, (13) nimatta=orang berpenyakit ayan, (14) unmatta=orang berpenyakit gila, (15) kustha=orang yang memiliki penyakit lepra, (16) rogakuksi=orang yang memiliki penyakit perut segala macam, (17) wigantika=orang yang kemasukan setan, (18) khanja=orang yang pincang atau lumpuh, (19) kubja=orang bungkuk, (20) andha=buta, (21) ekadrka=orang bermata sebelah/peceng, (22) hrswa=orang kerdil atau sengkok atau anggota badanya bengkok, (23) clesma=orang bicaranya tidak terang, (24) knetra=orang yang berpenyakit mata (Subagiasta, 2007: 21-22).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa gambaran Neraka pada intinya tempat bagi pendosa, mengerikan, tercela dan siksaan yang digambarkan menurut jenis perbuatan tidak baik yang dilakukan, sebagai tegal penangsaran, batu macepak, titi gonggan,  kayu curiga dan berdasarkan cirri-ciri kelahirannya (Neraka Syuta).

III  METODE PENELITIAN

3.1  Metode Penelitian Sastra
Sehubungan dengan penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian sastra, karena Teks Japa Tuan termasuk susastra Hindu yang menggambarkan tentang Sorga dan Neraka.
Sesuai dengan hal di atas Kutha Ratna (2011: 43-53) mengemukakan tentang kekhasan sifat sastra, ada sejumlah metode dalam sastra diantaranya adalah: (1) metode intuitif, (2) metode hermeneutika, (3) metode kualitatif, (4) metode analisis isi, (5) metode formal, (6) metode dialektika, (7) metode deskriptif analisis.
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Penggunaan metode kualitatif karena didasarkan atas pertimbangan Teks Japa Tuan mendeskripsikan atau menggambarkan adanya Sorga dan Neraka.

3.2 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data berupa dokumen, karena data yang disajikan berupa buku atau teks tentang sastra. Dan sumber data yang digunakan adalah data primer yaitu teks Japa Tuan yang diterbitkan oleh Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Daerah Tingkat I Bali tahun 1988/1989 dan data sekunder yaitu berupa literatur-literatur sebagai penunjang data primer.

3.3. Metode Pengumpulan Data
Terkait dengan penelitian ini metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode pencatatan dokumen. Penelitian sastra berkaitan dengan dokumen yang digunakan sebagai sumber data dengan jalan mengumpulkan semua dokumen kemudian menganalisisnya sesuai dengan tujuan dan fokus masalah penelitian.

3.4. Proses  Pencatatan Dokumen
            Setiap kegiatan sudah pasti berjalan sesuai dengan adanya proses secara terinci dan sistematis. Karena dengan adanya proses segala sesuatunya menjadi lebih bermakna dan mengurangi kesalahan dalam tindakan yang dilakukan. Demikian juga dengan penggunaan metode pencatatan dokumen merupakan bagian dari kegiatan ilmiah sebagai sebuah proses, sehingga memerlukan adanya teknik-teknik atau langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menyeleksi dokumen sebagai sumber data yaitu: ”(1) menyusun kepustakaan kerja, (2) menyusun kepustakaan fungsional, dan (3) menyusun kepustakaan final” (Dwija, 2012: 71).

3.5. Metode Analisis Data
Metode Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode komparatif dan deskriptif dengan teknik argumentasi. Karena data terlebih dahulu dianalisis dengan melakukan komparasi (pembanding), kemudian disusun secara sistematis, selanjutnya diberikan alasan-alasan yang rasional sehingga mendapatkan simpulan.

BAB IV  PEMBAHASAN
4.1.Deskripsi Teks Japa Tuan
Teks yang dijadikan objek penelitian ini adalah berupa Teks Japa Tuan yang disusun oleh Tim Penyusun Naskah Satua-satua Bali yaitu: Drs. I Wayan Warna dan Drs. A.A Gede Raka sebagai Pengarah/Konsultan, I Gst. Kompiang Gede sebagai ketua, Dra. Ida Ayu Iran Adhiti sebagai sekretaris, Anggota: Ida Bgs. Gede Murdha, BA, I Made Lod, I Made Riken, I Gst. Pt. Oka Pujawan, dan Ilustratornya Dra. Ni Made Rinu. Teks Japa Tuan ini merupakan salah satu bentuk karya sastra yang berbentuk cerita rakyat tradisional Bali yang berbentuk prosa, diterbitkan oleh Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Daerah Tingkat I Bali Tahun 1988/1989 dengan ukuran 15 x 21 cm sebanyak 52 halaman ditambah 11 halaman depan yang berisi Kata Pengantar Kepala Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Daerah Tingkat I Bali, Sambutan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali, Sambutan Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali dan Sambutan Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Bali. Sampul buku berwarna hijau bergambar pewayangan 2 laki-laki dan 1 perempuan. Pada bagian atas tertera judul yang berwarna hitam, pada bagian bawah bertuliskan penerbit dengan warna huruf putih, dan pada bagian belakang sampul terdapat pencetak dan Tim Penilai Buku Kanwil Dep. Dikbud Propinsi Bali dengan Surat Keputusan tanggal 5 Maret 1987 Nomor 26/I./Kep/RS.87.
Penyajian Teks Japa Tuan ini disajikan dalam bentuk cerita dalam bahasa Bali huruf latin, sehingga mudah dimengerti  dan dipahami.

4.2.Sinopsis Teks Japa Tuan
Dikisahkan di sebuah desa Negara Daha, ada seseorang yang sudah berumah tangga, yang laki-laki bernama I Angkara, yang perempuan bernama Ni Ahkara. Pertemuan keduanya dikaruniai dua anak. Yang paling besar bernama I Gagak Turas, adiknya bernama I Japa Tuan. I Gagak Turas sosok yag bodoh tetapi baik dan penakut, I Japa Tuan berparas tampan serta rajin mempelajari cerita dan aksara yang utama.
Dikisahkan juga tentang kesetiaan I Japa Tuan terhadap istrinya yang bernama Ni Ratnaningrat seorang wanita yang cantik dengan wajah yang selalu bercahaya dan selalu berseri-seri, lemah lembut tutur katanya, sopan santun di dalam setiap langkahnya serta sangat setia dan taat kepada sang suami.
Usia perkawinan mereka yang baru berjalan selama tiga bulan Ni Ratnaningrat meninggal dunia. I Japa Tuan menangis ketika tiba kematian istri tercintanya dan langsung mengambil keris dan berencana membunuh diri untuk mati bersama istrinya. Kemudian I Gagak Turas kakak dari I Japa Tuan menghalangi sambil menasehatinya, namun kesedihannya tidak surut, mereka dan orang tuanya terus menangis. I Japa Tuan seolah tidak ikhlas ditinggal oleh istrinya.
Kemudian I Japa Tuan melakukan perjalanan dengan I Gagak Turas untuk mencari istrinya. Dalam perjalannya, mereka banyak mendapat halangan dan gangguan yang membuat I Gagak Turas sangat ketakutan. Sambil meminta penjelasan tentang apa yang mereka alami dalam perjalanan dari masih di alam sekala hingga alam niskala. Karena kecerdasan dan ketenangan serta pengetahuan yang dimiliki oleh I Japa Tuan semua gangguan bisa terlewati.
Diceritakan pula tentang keadaan alam niskala tentang tempat Sorga dan Neraka yang letaknya berdampingan. Neraka merupakan sebuah makna kesengsaraan, siksaan yang dialami para atma sesuai dengan karmanya di masa lalu. Dari segala jenis karma semua memiliki tempat masing-masing untuk mempertanggungjawabkannya. Sedangkan Sorga merupakan sebuah makna keindahan, kesucian, kedamaian, kebaikan, kebahagiaan, keagungan, kemuliaan, semuanya  berbau keharuman dan juga masing-masing memiliki tingkatan. Sepanjang perjalannya banyak tingkatan atau lapisan alam niskala seperti ditemukannya berbagai meru lengkap dengan atributnya sebagai penggambaran Sorga dan Tambra Gohmuka berdampingan dengan Batu Macepak, Titi Ugal Agil, Tegal Penangsaran sebagai penggambaran Neraka. Untuk memasuki tingkatan alam lainnya, sebelumnya mereka harus melakukan penyucian diri dari segala jenis cuntaka.
Setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh, pada akhirnya I Japa Tuan bertemu dengan istrinya yaitu Ni Ratnaningrat, tetapi dalam wujud seekor bangkung (babi perempuan). I Japa Tuan mmemeluk Ni Ratnaningrat dengan wujud bangkung tersebut dan pada akhirnya Sang Hyang Indra mengijinkan membawa Ni Ratnaningrat kembali ke dunia sebagai suami I Japa Tuan.
Diceritakan I Japa Tuan sudah kembali ke dunia berama istrinya dan kakaknya I Gagak Turas. I Japa Tuan diangkat menjadi Raja di Negara Daha. Semenjak itu Negara Daha menjadi aman dan tentram, segala yang rusak bisa dibenahi.


4.3.Latar Belakang Sorga dan Neraka
Setiap  agama yang ada, sudah pastinya dilandasi dengan keyakinan. Hal tersebut sebagai dasar yang kuat alasan seseorang mengimani ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya sebagai penuntun jalannya kehidupan. Demikian juga dengan Agama Hindu ada lima keyakinan menjadi dasarnya yang sering disebut dengan Panca Sradha. Adapun bagian-bagiannya antara lain: Brahman (yakin adanya Tuhan), Atman (yakin adanya Atma), Karmaphala (yakin adanya hasil perbuatan), Punarbhawa (yakin adanya kelahiran kembali), dan Moksa (yakin adanya kelepasan, bersatunya Atman dengan Brahman).
Karmaphala memberi optimisme kepada setiap manusia, bahkan semua makhluk hidup. Dalam ajaran ini, semua perbuatan akan mendatangkan hasil. Apapun yang diperbuat, seperti itulah hasil yang akan diterima baik hasil dari perbuatan yang dulunya tidak sempat dinikmati, sehingga menentukan kehidupan yang sekarang (Sancita Karmaphla), kemdian hasil perbuatan sekarang hasilnya dinikmati pada kehidupan ini juga (Prarabda Karmaphala) dan perbuatan yang hasilnya tidak sempat dinikmati pada kehidpan sekarang, sehingga menentukan kehidupan yang akan datang (Kriyamana Karmaphala). Karmaphala adalah sebuah hukum kausalitas bahwa setiap perbuatan akan mendatangkan hasil. Dalam konsep Hindu, berbuat itu terdiri atas: perbuatan melalui pikiran, perbuatan melalui perkataan, dan perbuatan melalui tingkah laku. Ketiganya akan mendatangkan hasil bagi yang berbuat. Kalau perbuatannya baik, hasilnya pasti baik, demikian pula sebaliknya.
Karmaphala erat hubungannya dengan ajaran susila. Ajaran tersebut menuntun manusia untuk berbuat baik guna tercapainya kehidupan yang damai. Susila merupakan salah satu bagian dari Tiga Kerangka Dasar Agama Hindu. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali dijumpai orang dengan sifat dan karakter yang berbeda-beda dan memang sudah kodrat manusia itu sendiri, ada yang mempunyai kecenderungan untuk berbuat baik dan berbuat buruk. Kecenderungan-kecenderungan sifat tersebut sangat berhubungan dan berpengaruh dengan karakter serta prilaku manusia. Kecenderungan untuk berbuat baik merupakan sifat yang diajarkan dalam Subha Karma, sedangkan kecenderungan untuk berbuat buruk merupakan sifat dari Asubha Karma.
            Hukum ini sebenarnya sangat besar pengaruhnya terhadap segala makhluk  sesuai dengan Subha (baik) Asubha (buruk) Karma (perbuatan) yang dilakukan karena itulah yang menentukan kebahagian atau penderitaan hidup lahir bathin dari sesuatu makhluk baik dalam masa penjelmaan di dunia ini maupun dalam hidupnya di alam lain dan dalam kehidupan yang akan datang. Jadi setiap yang berbuat baik (Subha Karma) pasti baik yang akan diterimanya, demikian pula sebaliknya setiap yang berbuat buruk (Asubha Karma) akan buruk pula yang diterimanya.
            Setiap mengalami masa kehidupan tertentu, manusia tidak akan putus-putusnya menikmati Karmapala itu. Ada yang sempat  dinikmati pada masa kehidupannya sekarang, ada pula dinikmati pada masa hidupnya yang akan datang, serta ada kalanya akan dinikmati di akhirat kelak.
Oleh karena itu, Umat Hindu dengan adanya hukum Karmaphala ini akan memberikan keyakinan kepada manusia untuk mengarahkan segala tingkah lakunya selalu berdasarkan etika dan cara-cara yang baik untuk mencapai cita-cita yang baik dan selalu menghindari jalan tujuan yang buruk agar tercapainya kebahagian dalam hidup ini, di akhirat dan dalam penjelmaan yang akan datang (Punarbhawa).
Menurut keyakinan Agama Hindu bahwa segala baik buruk perbuatan (Subha-Asubha Karma) akan membawa hasil atas akibat yanga dilakukan, tidak saja didalam hidupnya  sekarang ini, tetapi juga di akhirat (Sorga dan Neraka). Setelah atma dengan Suksma Sariranya (badan halus) berpisah antara Stula Sarira (badan kasar) dan membawa pula dalam akibat penjelmaan yang akan datang (Punarbhawa) setelah atma bersama dengan Suksma Sariranya bersenyawa lagi dengan Stula Sariranya (badan kasar). Ida Sang Hyang Widhi Wasa akan menhukumnya bagi yang berbuat buruk dalam hidupnya dan akan dimasukan ke dalam Neraka yakni hukuman yang bersendikan keadilan. Demikian sebaliknya Ida Sang Hyang Widhi Wasa akan  memberkati atma seseorang yang berjasa dan melakukan amal yang baik serta kebajikan yang suci dan akan diberikan tempat yang baik berupa Sorga. Begitu pula Ida Sang Hyang Widhi Wasa akan mengampuni atma yang pernah berbuat dosa, jika bertobat dan tidak akan melakukan dosa itu lagi.
            Keyakinan Agama Hindu yang dimaksud dengan Sorga dan Neraka adalah merupakan suatu tempat beristirahat para atma sambil menikmati hasil perbuatannya yang dilakukan dahulu pada saat hidupnya di dunia. Jika karmanya baik pada masa hidupnya di dunia akan mendapat Sorga, jika karmanya buruk akan menndapat Neraka. Jadi dapat disebutkan bahwa Sorga itu tempat kebahagian di akhirat yang dinikmati atma oleh akibat dan perbuatan baik atau Subha Karmaphalanya. Sedangkan Neraka itu adalah tempat penderitaan atas hukuman akhirat yang harus diterima oleh atma karena merupakan akibat dari perbuatan buruknya (Asubha Karma).

4.4.Penggambaran Sorga dan Neraka dalam Teks Japa Tuan
Susastra Hindu menyimpan berbagai pengetahuan yang dapat dipahami oleh umat Hindu sebagai acuan untuk memahami ajarannya secara mendalam. Mengkaji ajaran-ajaran yang terdapat dalam Veda sangat besar pengaruhnya bagi kelangsungan eksistensi agama Hindu ke depannya. Disamping bermanfaat secara individual, dapat pula bermanfaat untuk umat Hindu secara umum sebagai konsep pemahaman agama dengan bahasa yang mudah dicerna. Suatu ajaran agama tidak semata-mata untuk dihapal, namun dihayati dan diimplementasikan dalam kehidupan. Demikian juga dengan Teks Japa Tuan  yang termasuk dalam susastra Hindu menyimpan ajaran sebagai media untuk memperkuat keyakinan terhadap pengetahuan tentang penggambaran Sorga dan Neraka. Penggambaran Sorga dan Neraka dalam Teks Japa Tuan diuraikan sebagai berikut:

4.4.1.      Penggambaran Sorga dalam Teks Japa Tuan
            Penggambaran Sorga dalam Teks Japa Tuan diidentikan dengan keberadaan bangunan suci berupa meru yang menempati sembilan penjuru mata angin beserta dengan tingkatannya,  kutipannya diuraikan sebagai berikut:
Sasampun mararian ajebos, malih I Gagak Turas nglanturang ngraos, “Adi, milehan katon meru ngulangunin. Ba dangin katon meru tumpang solas, warnane putih sentak. Ba delod meru tumpang solas, warnane barak ngakak. Ba dauh meru tumpang solas, uparenggannyane sarwa kuning. Ba daja taler meru tumpang solas, warnanyane selem denges. Di panyirangannyane, meru tumpang pitu, ring madia meru tumpang solas, panganggene mâncawarna. Adi, indayang tuturang padartannyane soang-soang!”. I Japa Tuan nutur, “Becikang mirengang Beli, duaning wenten sane iwang antuk Beli maosang! Kaja kangin, meru tumpang solas, uparenggane sarwa biru. Kelod kangin meru tumpang lima, panganggene sarwa dadu. Kelod kauh meru tumpang telu, uparenggane jingga. Kaja kauh meru tumpang pitu, uparenggane gadang, juru sapuhe Widiadara (Tim Penyusun, 1988: 26-27).

Artinya:
            Sesudah istirahat sebentar, I Gagak Turas melanjutkan berkata. “Adik sekeliling tempat ini terlihat meru yang indah. di sebelah timur terdapat meru tumpang sebelas berwarna putih. Di sebelah selatan terdapat bangunan meru tumpang sebelas dengan warna atapnya merah. Di sebelah barat bangunan meru tumpang sebelas dengan atap berwarna kuning. Di sebelah utara meru tumpang sebelas dengan warna hitam. Di bagian pojok tedapat meru tumpang tujuh, di tengah-tengah terdapat bangunan meru tumpang sebelas dengan lima macam warna. Adik coba ceritakan masing-masing”. I Japa Tuan bercerita, “dengarkan dengan baik kakak, walaupun ada yang salah yang kakak katakan!. Sebelah timur laut meru tumpang sebelas, busananya serba biru. Di tenggara meru tumpang lima, busananya serba oranye. Di barat daya meru tumpang tiga, busananya serba jingga. Di barat laut meru tumpang tujuh busananya serba hijau, juru sapunya Bidadari.
            Sane ba dangin, meru petak matumpang solas, menur pucaknyane manik banyu, lawangane slaka màukir masoca inten miwah mutiara. Ider-idernyane, leluur, papedek miwah tilamnyane antuk sutra putih Sampatnyane lemuh makatik slake. Juru sapuhe Dewi Suci. Merune ba dangin, suargan sang tapa lewih miwah pagehing brata. Nanging yan laksanane sasar, iwang antuk nglaksanayang tapa brata, tan panwangde atmannyane kelebok ring kawah êndute sane wenten ring sisin meruñe, duaning genah kawahe nenten doh saking suargane (Tim Penyusun, 1988: 27).

Artinya:

Bangunan suci meru disebelah timur dengan tumpang sebelas, mahkotanya terbuat dari permata berwarna Kristal (manik banyu), pintunya terbuat dari perak yang diukir, memakai ider-ider (hiasan tepi bawah atap) berwarna putih, menjulang tinggi, semuanya berwarna putih. Sapunya dari berbatangkan slaka. Juru sapunya bernama Dewi Suci. Meru yang di timur, Sorga tempat tinggal roh orang budiman, bagi yang tekun melakukan tapa brata. Tetapi jika prilakunya sesat dalam melaksanakan tapa brata, tidak segan-segan rohnya di dibelokkan ke kawah lumpur yang berada di pinggir meru, karena tempat kawah tidak jauh dari Sorga.
Merune kelod, warnanyane barak, tumpang solas. Menur pucaknyane widuri ngendih, lawangannya tembagawasa, maukir patra welanda, masimbar sesocan bang. Leluure, ider-ider, tilam, miwah pepedek antuk sutra barak, pakantenannya endih murub. Sampatñyane lemuh mawarna barak, makatik tembagawasa. Juru sapuhe dedari Kenderan. Meru punika suargan watek punggawa, pepatih mawah para manca, sane susrusa bakti ring gustinnyane tur pageh ngamong swadarmannya soang-soang. Sane linyok ring geginan, atmannya kalebok ring kawah endüte sane ngiterin meru (Tim Penyusun, 1988: 27-28).

Artinya:
            Meru yang di selatan warnanya merah, tumpang sebelas. Mahkota puncaknya berupa permata widuri bercahaya, pintunya terbuat dari tembaga, diukir kayu belanda dengan berwarna merah. Leluur (hiasan di atas), ider-ider (hiasan tepi bawah atap), kasur atau bantal dari kain sutra merah. Pasangannya menyala dan berkobar. Sapunya lembut berwarna merah, bertangkai tembaga. juru sapunya bidadari kendran. Meru itu merupakan Sorga untuk golongan Punggawa dan patih yang teguh menjalankan kwajibannya masing-masing. Orang yang ingkar terhadap pekerjaan, rohnya ditenggelamkan di kawah lumpur yang mengelilingi meru.
Sane ba dauh, marupa matumpang solas, uparenggannyane sarwa kuning. Menur pucak merune widura wulan, lawangane mas matrawang, maukir masesocan ratna candra. Leluur, ider-ider, tilam, miwah pepedeknyane antuk sutra kuning Sampatnyane kuning lemuh, makatik mas masangling juru sapuhe, dedari Gagarmayang. Meru kuning punika suargan jadma sukerti. Yan sasar yásan nyane, atmane kalebok di kawah endute sane ngiter merune” (Tim Penyusun, 1988: 28-29).

Yang di sebelah barat berupa tumpang sebelas, busananya serba kuning. Puncaknya mahkota widura bulan, pintunya mas diukir bermata bulan. Leluur (hiasan di atas), ider-ider (hiasan tepi bawah atap), kasur atau bantal dari kain sutra kuning. Sapunya kuning lembut, memakai tangkai emas cat emas cair, Bidadari Gagarmayang sebagai pelayannya. Meru kuning itu merupakan Sorga untuk orang yang tingkah berbudi pekerti baik dan berjasa baik. Jika sesat jasanya maka rohnya ditenggelamkan di kawah lumpur yang mengelilingi meru.
Jika dicermati berdasarkan kutipan di atas, penggambaran sorga lebih dominan memaparkan tentang tata letak meru, mulai dari arah, warna, dan tingkatannya. Dijelaskan juga dalam lontar Andha Bhuana tentang makna dan fungsi meru sebagai berikut:
Matang nyan meru mateges, me, ngaran meme, ngaran ibu, ngaran pradana tattwa; muah ru, ngaran guru, ngaran bapa, ngaran purusa tattwa, panunggalannya meru ngaran batur kalawasan petak. Meru ngaran pratiwimbha andha bhuana tumpangnya pawakan patalaning bhuana agung alit.

 Artinya:

Oleh karena itu meru berasal dari kata me, berarti meme = ibu = pradana tattwa, sedangkan ru berarti guru = bapak = purusa tattwa, penggabungan meru bermakna batur kalawasan petak (cikal bakal leluhur) (Sudirga, dkk, 2004: 122).

Jadi, berdasarkan keterangan dalam Lontar Andha Bhuana tersebut, meru memiliki dua makna simbolis yaitu meru sebagai simbolisasi dari cikal bakal leluhur dan simbolisasi atau perlambang dari alam semesta.
Gunung adalah perlambang alam semesta sebagai stana para Dewata, Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Papulaning Sarwa Dewata. Meru mempunyai makna simbolis dalam hal ini, meru sebagai Dewa Pratista berfungsi sebagai tempat pemujaan atau pelinggih para Dewa. Meru sebagai Dewa Pratista terdapat dalam kompleks pura seperti Pura Sad Kahyangan, Kahyangan Jagat, dan Kahyangan Tiga.
Meru melambangkan Ibu dan  Bapak sebagaimana diuraikan dalam Lontar Andha Bhuana di atas. Ibu mengandung pengertian Ibu Pertiwi yaitu unsur pradhana dan Bapak mengandung makna Akasa yaitu unsur purusa. Manunggalnya  pradhana dan purusa itulah merupakan kekuatan yang maha besar yang menjadi sumber segala yang ada di bumi. Inilah yang merupakan landasan bahwa meru berfungsi sebagai tempat pemujaan roh suci leluhur di kompleks pura-pura Pedarman Besakih. Di sini, meru sebagai Atma Pratista yaitu berfungsi sebagai tempat pemujaan roh suci leluhur atau sebagai stana Dewa Pitara.
Demikian juga dengan keindahan dan keagungan meru ditonjolkan oleh bentuk atapnya yang bertingkat-tingkat yang disebut atap tumpang. Ini dapat dibedakan atas meru tumpang satu, dua, tiga, lima, tujuh, sembilan, dan sebelas.
Meru sebagai perlambang atau simbolis alam semesta, tingkatan atapnya merupakan simbolis tingkatan lapisan alam yaitu bhuana agung (alam besar atau makrokosmos) dan bhuana alit (alam kecil atau mikrokosmos) dari bawah ke atas sebanyak sebelas tingkatan. “Tingkatan meru yaitu 1 = Sekala, 2 = Niskala, 3 = sunya, 4 = Taya, 5 = Nirbana, 6 = Moksa, 7 = Suksmataya, 8 = Turnyanta, 9 = Ghoryanta, 10 = Acintyataya, dan 11 = Cayen” (Dwijendra, 7 Agustus 2005).
Tingkatan-tingkatan atap meru adalah simbolisasi penyatuan dasa aksara (huruf suci) sebagai urip (jiwa) dari meru atau alam semesta. Sepuluh huruf suci ini merupakan urip bhuana yang letaknya di 10 penjuru alam semesta termasuk di tengah. Ke-10 huruf itu adalah huruf suci sa (letaknya di timur, dewanya Iswara dan warnanya putih), ba (selatan, Brahma, merah), ta (barat, Mahadewa, kuning) a (utara, Wisnu, hitam), i (tengah, Ciwa, campuran atau panca warna, na (tenggara, Mahesora, merah muda atau dadu), ma (barat daya, Rudra, jingga), si (barat laut, Sangkara, hijau), wa (timur laut, Sambu, biru) dan ya (tengah atas, Ciwa, panca warna).
Hal ini juga tertuang dalam Teks Japa Tuan tentang sepuluh aksara yaitu, “Akeh aksarane wenten 20, tur soang-soang wenten genahnya ring angga sarirane. Sane 20 punika yan ringkes dados Dasaksara, inggih punika: Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya” (Tim Penyusun, 1988: 4). Artinya: Banyaknya aksara ada 20, dan masing-masing ada tempatnya di dalam tubuh (mikrokosmos). Yang ke-20 tersebut jika dipadukan menjadi 10, diantaranya: Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya.
Penunggalan 10 huruf itu menjadi satu lambang aksara suci bagi umat Hindu yaitu Omkara (huruf suci Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Sedangkan pengejawatahan ke-10 huruf suci dan huruf suci Omkara dalam meru diuraikan Sudirga, dkk (2004: 123-124)  yaitu: (1) Meru beratap 11 adalah lambang dari 11 huruf suci, 10 huruf suci ditambah dengan huruf suci Omkara sebagai lambang Eka Dasa Dewata. (2) Meru beratap 9 adalah lambang 8 huruf di seluruh penjuru (sa, ba, ta, a, na, ma, si, wa) ditambah dengan satu huruf Omkara di tengah, 9 huruf itu lambang Dewata Nawa Sanga. (3) Meru beratap 7 adalah lambang 4 huruf (sa, ba, ta, a) ditambah dengan 3 huruf di tengah (i, Omkara, ya) ini lambang Sapta Dewata/Rsi. (4) Meru beratap 5 adalah simbolis dari 5 huruf (sa, ba, ta, a) ditambah satu huruf Omkara di tengah, ini lambang Panca Dewata. (5) Meru beratap 3 adalah simbolis dari 3 huruf di tengah (i, Omkara, ya), merupakan lambang Tri Purusa yaitu Parama Siwa, Sada Siwa, dan Siwa. (6) Meru beratap 2 adalah simbolis dari dua huruf di tengah (i, ya) adalah lambang dari Purusa dan Pradhana (Ibu-Bapak). (7) Meru beratap satu adalah simbolis dari penunggalan ke-10 huruf suci itu yaitu Om atau Omkara sebagai perlambang Sang Hyang Tunggal (Ida Sang Hyang Widi Wasa).
Demikian gambaran Sorga dalam Teks Japa Tuan yang menguraikan keberadaan meru tempat bagi orang-orang sadu (budiman) dalam hidupnya selalu menjalankan kebajikan, sehingga simbol meru juga sebagai tempat bagi atma yang telah mencapai tingkatan kemuliaan atau kesucian.

4.4.2.      Penggambaran Neraka dalam Teks Japa Tuan
            Secara jelas gambaran Neraka diuraikan bahwa kawah-kawah yang ada di Sorga tiada lain adalah Neraka. Sebab antara Sorga dan Neraka tidak berjauhan tempatnya. Selanjutnya tempat pengadilan di Neraka disebut sebagai Tegal Penangsaran, suatu tempat berbentuk persegi panjang berdebu panas terik luar biasa, banyak rumput yang tajam bagaikan taji, pohon madori berdaun selembar. Disinilah pengadilan atas segala perbuatan yang pernah dilakukan di bumi. Tempat ini, terutama dihuni oleh atma dari orang-orang yang tersesat seperti digambarkan pada kutipan berikut:
Nanging yan laksanane sasar, iwang antuk nglaksanayang tapa brata, tan panwangde atmannyane kelebok ring kawah êndute sane wenten ring sisin meruñe, duaning genah kawahe nenten doh saking suargane. Ring pungkur meru petak punika, wenten tegal linggah, bukne panes pisan. Irika tumbuh padang taji miwah madori medon tuah abidang. Tegal punika mawasta tegal Panangsaran, genah watek pitrane kasasar ngalih pasayuban, sedih kingking paclengik nandang panes ngentak, punika pitran anak kereng linyok ring ujar, minakadi : bregah miwah mobab (Tim Penyusun, 1988: 27).

Artinya:
            Tetapi, jika prilakunya sesat, salah dalam melaksanakan tapa brata, tidak segan-segan rohnya dibelokan di kawah lumpur yang berada di pinggir meru, karena tempat kawah tidak jauh dari Sorga. Di belakang meru itu terdapat ladang luas, debunya sangat panas. Disana tumbuh rumput tajam bagaikan taji dan pohon madori berdaun selembar. Ladang tersebut bernama Tegal Penangsaran, tempat para roh tersesat mencari tempat istirahat, sedih menahan panas, itulah roh yang suka ingkar janji, seperti sering berbohong.
Sane linyok ring geginan, atmannya kalebok ring kawah endute sane ngiterin meru. Ring samping merune kelod, wenten malih kawah Tàmbra Gohmuka masanding ring batu macepak. Watek Kingkarane pada gisu nguber atmane kasasar. Sasampune kakeniang, raris katigtig kabayang-bayang, tumuli kalablab ring kawah Tambra Gohmukane, paduuh nandang sakit. Malih ajebosne kaangkidang olih watek Kingkarane, atmane kasasar punika tumuli katektek kapukang-pukang. Yadiastun asapunika, atma kasasar punika nenten pejah, kantun paclengik nandang sedih. Sane asapunika, atman muatmait, ngamatiang jadma tan padosa, miwah atman anak sane demen malaksana corah. Sane lianan, wenten sane kajepit ring selagan batune macepak, pajerit nandang sakit, nanging nenten pejah. ……………………………………...……………………….............
Yan sasar yásan nyane, atmane kalebok di kawah endute sane ngiter merune (Tim Penyusun, 1988: 28-29).

Artinya:
            Yang ingkar terhadap pekerjaan, rohnya dibelokan di kawah lumpur yang mengelilingi meru. Di samping meru sebelah selatan, ada Kawah Tambra Gohmuka berdampingan dengan batu berbelah dua, para kingkara (bala tentara Dewa Yama) mengejar roh yang sesat. Sesudah di didapatkan, kemudian roh di pukul disakiti kemudian direbus di Kawah Tambra Gohmuka, tersedu-sedu menahan sakit. Lagi sebentarnya diangkat oleh para Kingkara, roh tersebut di potong-potong badannya. Walaupun demikian roh yang sesat itu tidaklah bisa mati, masih menjerit-jerit menahan sedih. Roh yang demikian, roh yang berdosa, membunuh orang yang tidak berdosa, serta roh yang suka berbuat jahat. Yang lainnya ada roh yang terjepit di belahan batu, tetapi tidak bisa mati.
..............................................................................................................................
Jika sesat jasanya, rohnya dibelokan di kawah lumpur yang mengelilingi meru.
Atmane magenah ring nrakane ba dauh anak alpaka ring meme bapa, atman anak nemenin rabin guru, miwah atma anak langgah ring muaninnyane magenah ring nrakane kauh. Atman anak sane nenten ngelah sentana, masi magenah kauh. Atmane kagantung ring tiing petunge sane tumbuh ring sisin jurange, tur bungkilnyane itep kagutgut olih i bikul. Wenten lianan, atma kasasar, majalan ngentosin titi ugal agil. Teked basantengahne, saget ulung ka kawahe, ngigil pajerit nandang sakit (Tim Penyusun, 1988: 30).

Artinya:
            Roh yang berada di Neraka sebelah barat adalah roh yang berani melawan orang tua, roh yang menyukai suami atau istri guru  dan roh berani melawan suami berada di Neraka sebelah barat. Roh yang tidak punya anak juga berada di barat, roh digantung di bambu yang tumbuh di pinggir jurang serta dasarnya digigit oleh tikus. Ada juga yang lain, roh tersesat, berjalan melewati Titi Ugal Agil. Sesampainya di tengah, akan jatuh di kawah, berteriak kesakitan.
            Berdasarkan kutipan di atas, gambaran Neraka dalam Teks Japa Tuan terdapat Tegal penangsaran, Batu Macepak, Titi Ugal Agil,  Kawah Tambra Gohmuka. Tegal penangsaran adalah tempat pengadilan para roh berupa tanah lapang yang ditumbuhi rumput taji dan pohon madori, Batu Macepak merupakan batu terbelah dua yang berfungsi menjepit roh, Titi Ugal Agil berupa jembatan bergoyang bila dilalui akan jatuh ke kawah Neraka,  Kawah Tambra Gohmuka adalah tempat roh sesat yang direbus.

BAB V PENUTUP
5.1.Simpulan
      Berdasarkan uraian pembahasan tersebut, dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1.      Latar Belakang Sorga dan Neraka dalam Teks Japa Tuan yaitu dengan adanya keyakinan Agama Hindu sebagai dasar untuk menjalankan ajaran-ajaran yang dikandungnya. Keyakinan tersebut ada lima yang disebut dengan Panca Srada dengan bagian-bagian yaitu: Brahman, Atman, Karmaphala, Punarbhawa dan Moksa. Dari kelima keyakinan tersebut, Karmaphala memberi optimisme kepada setiap mahkluk hidup sebagai hasil dari perbuatan. Hasil dari perbuatan baik atau buruk yang dilakukan berimplikasi pada sebuah tempat yaitu Sorga atau Neraka.
2.      Penggambaran Sorga dan Neraka dalam Teks Japa Tuan yaitu: Penggambaran Sorga dalam Teks Japa Tuan diidentikan dengan keberadaan bangunan suci berupa meru yang menempati sembilan penjuru mata angin beserta dengan tingkatannya. Dan penggambaran Neraka dalam Teks Japa Tuan terdapat Tegal penangsaran, Batu Macepak, Titi Ugal Agil,  Kawah Tambra Gohmuka.

5.2.Saran
       Melalui artikel ini, penulis ingin menyampaikan beberapa saran kepada pihak-pihak berikut:
1.        Bagi kalangan akademisi diharapkan bisa menjadi sosok yang intelektual bernafaskan Kehinduan dengan berpedoman pada gambaran Sorga dan Neraka dalam Teks Japa Tuan ketika terjun langsung ke masyarakat.
2.        Diharapkan kepada umat Hindu agar senantiasa mempertebal keyakinan spiritual sebagai langkah tercapainya keimanan beragama Hindu. adapun upaya yang dapat dilakukan dengan memahami dan meningkatkan kegemaran membaca karya-karya sastra secara mendalam  salah satunya Teks Japa Tuan yang kaya akan gambaran Sorga dan Neraka sebagai pedoman dalam berprilaku.
3.        Kepada lembaga umat Hindu (PHDI), diharapkan untuk berkenan menggali, mendokumentasikan, mencetak, dan menyebarluaskan karya-karya sastra sebagai salah satu warisan leluhur dan dimanfaatkan oleh generasi berikutnya agar kandungan ajaran-ajarannya dapat dijadikan pedoman.
4.        Bagi pencinta karya sastra, budayawan dan peneliti diharapkan tindak lanjutnya untuk ikut serta mempelajari, menggali, mengkaji, dan menganalisa Teks Japa Tuan, sehingga kandungan ajaran maupun gambaran yang belum terungkap dalam penelitian ini bisa digali kembali.

DAFTAR PUSTAKA

Anom, I G. K. 1975. Morfologi Bahasa Bali. Singaraja: Departemen Pendidikan    dan Kebudayaan.

Budi Adnyana, I Gede Agus. 2011. Yama Purana Tatwa Terjemahan dan Ulasan. Gianyar: Gandapura.

Dwija. I Wayan. 2012. Metodologi Penelitian Pendidikan (Buku Ajar). Tidak Diterbitkan. Amlapura: STKIP Agama Hindu Amlapura.

Jendra, W. 1998. Cara Mencapai Moksa di Zaman Kali. Denpasar: Yayasan           Dharma Narada.

Kutha Ratna. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Madrasuta, Ngakan Made. 2006. Yama Saya Beragama Hindu. Jakarta: Media Hindu.
Suasthi dan Suastawa. 2008. Psikologi Agama: Seimbangkan Pikiran, Jiwa, dan Raga. Denpasar: Widya Dharma.

Subagiasta, I Ketut. 2007. Etika Pendidikan Agama Hindu. Surabaya: Paramita.

Subagyo, P. J. 2004. Metodologi Penelitian dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Sudarto. 2002. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: Rajawali Pers.

Sudirga, Ida Bagus, dkk. 2004. Widhya Dharma Agama Hindu. Bandung : Ganeca Exact Bandung

Surada, I M. 2007. Kamus Sanskerta Indonesia. Denpasar: Widya Dharma.

Svami Sivananda, Sri. 2005. Apa Yang Terjadi Pada Jiwa Setelah Kematian. Surabaya: Paramita.

Tim Penyusun. 1988. Japa Tuan. Denpasar: Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

Titib, I Made. 2006. Persepsi Umat Hindu di Bali Terhadap Svarga, Naraka, Moksa dalam Svargarohanaparva: Perspektif Kajian Budaya. Surabaya: Paramita.

Wiana. 2003. Veda Vakya Tuntunan Praktis Memahami Veda. Jilid 2.         Denpasar: Pustaka Pelajar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TARI REJANG LILIT DALAM PUJAWALI DI PURA DADIA ARYA MAJA KELING DESA CULIK KECAMATAN ABANG KABUPATEN KARANGASEM