TARI REJANG LILIT DALAM PUJAWALI DI PURA DADIA ARYA MAJA KELING DESA CULIK KECAMATAN ABANG KABUPATEN KARANGASEM


TARI REJANG LILIT DALAM PUJAWALI
 DI PURA DADIA ARYA MAJA KELING
DESA CULIK KECAMATAN ABANG
KABUPATEN KARANGASEM

Oleh
I Wayan Sudiarta

ABSTRAK

Tari Bali merupakan produk seniman Bali yang harus dilestarikan utamanya seni tari yang bersifat sakral, salah satunya adalah Tari Rejang Lilit dalam Pujawali di pura dadia Arya Maja Keling. Tari Rejang Lilit ini memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri yang berbeda dengan Tari Rejang Lilit di tempat lain, dilihat dari segi para penari yang membawakannya yaitu penari laki-laki tidak seperti penari yang menarikan tari Rejang Lilit pada umumnya yaitu yang membawakannya adalah penari perempuan. Keberadaan Tari Rejang Lilit di pura dadia Arya Maja Keling belum banyak diketahui oleh masyarakat Desa Culik tentang bentuk pementasan, fungsi dan makna.
Penelitian ini dilakukan untuk dapat mengetahui bagaimana bentuk pementasan, fungsi dan makna dari Tari Rejang Lilit dalam Pujawali. Untuk memperoleh data yang lengkap, penelitian ini menggunakan metode penentuan subjek dan pendekatan subjek dengan metode empiris dan tehnik snawball sampling, jenis data yaitu kualitatif dengan sumber data primer dan sekunder. Dalam pengumpulan data menggunakan metode observasi, wawancara dan pencatatan dokumen. Setelah data terkumpul dilakukan analisis data berdasarkan metode deskritif dengan tehnik induksi dan argumentasi untuk menguraikan dan mengomentari persoalan-persoalan secara logis terhadap fakta-fakta yang ditemukan lewat penelitian atas dasar alasan-alasan rasional dalam memperoleh kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: (1) Bentuk pementasan Tari Rejang Lilit dalam Pujawali, dipentaskan dua kali yaitu yang pertama disebut Pamungkah saat di pagi hari dan pementasan yang kedua di sebut Pamiosan di sore hari. Pada pelaksanaannya Tari Rejang Lilit mengacu pada struktur bentuk diungkap tentang: para penari, busana, urutan penyajian, perbedaan Tari Rejang Lilit yang ada di pura dadia Arya Maja Keling dengan Tari Rejang Lilit pada umumnya, dan tempat pementasan Tari Rejang Lilit dalam Pujawali. (2) Tari Rejang Lilit dalam Pujawali mempunyai fungsi yaitu: Fungsi ritual, Fungsi estetika, dan Fungsi sosial. (3) Tari Rejang Lilit ini memiliki makna sebagai simbolisasi perwujudan bhakti dari seorang anak perempuan kepada ibunya (Bhatari Ida Ratu Ayu Pudak Nelayang kepada Bhatari Ida Ratu Ayu Puncak Sari Masmuter) untuk menghormatinya dengan mempersembahkan tarian yang indah bersifat suci sehingga harus ditarikan oleh anak laki-laki yang masih ngraja singa (masih suci).
Berpijak dari penelitian ini diharapkan kepada semua pihak agar dapat menumbuhkan minat mencintai karya-karya seni utamanya seni tari yang bersifat sakral. Khususnya masyarakat Desa Culik yang menjadi pangempon pura dadia Arya Maja Keling perlu melestarikan Tari Rejang Lilit karena tari tersebut merupakan tari unik yang diwariskan oleh para leluhur.

Kata Kunci:     Tari Rejang Lilit, Pujawali. 

















1.      PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang Masalah
Kehidupan sejahtera adalah salah satu tujuan manusia. Agama Hindu mengajarkan tiga konsep penyebab kesejahteraan yang disebut Tri Hita Karana. Tri Hita Karana menekankan tiga hubungan manusia dalam kehidupan di dunia ini. Ketiganya itu meliputi hubungan manusia dengan sesama manusia (pawongan), hubungan manusia dengan lingkungan alam sekeliling (palemahan), dan hubungan manusia dengan ke Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa (parhyangan). Setiap hubungan memiliki pedoman hidup menghargai sesama aspek sekelilingnya. Prinsip pelaksanaannya harus harmonis, seimbang, selaras antara satu dengan yang lainnya.
Untuk mewujudkan keharmonisan tiga hubungan antara parhyangan, pawongan, dan palemahan, manusia tidak bisa dilepaskan dari tiga hutang yang disebut Tri Rna. Tri artinya tiga dan Rna artinya hutang. Jadi Tri Rna artinya tiga hutang yang dimiliki semua manusia dan dibayar dengan Yadnya. Pelaksanaan yadnya di Bali ada lima macam jumlahnya yang disebut dengan Panca Yadnya. Bagian-bagian dalam Panca Yadnya yaitu Dewa Yadnya, Manusa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, dan Butha Yadnya. Setiap penyelenggaraan Yadnya akan dikatakan lengkap apabila adanya unsur Panca Gita. Panca Gita adalah lima jenis bunyi-bunyian yang dapat menimbulkan serta membangkitkan rasa suka cita menjelang dan saat upacara keagamaan dilaksanakan.
Panca Gita  merupakan bagian dari  Agama yang menyatu dengan budaya. Agama dan budaya adalah satu kesatuan kebudayaan yang dapat mendorong hidup manusia untuk berkreasi, dinamis di dalam mencapai kepuasan batin dan mempertajam intuisinya. Manusia bisa maju dan dihormati apabila mampu menunjukkan kreativitas  kesenian dan budayanya yang tinggi. Maka dari itu diperlukan pemikiran yang bijaksana untuk melestarikan dan mengembangkan seluruh potensi tradisi kesenian dan budaya, sehingga dapat ditumbuhkembangkan pada seluruh aspek kehidupan. Tradisi merupakan suatu kebiasaan yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat. Sangat sulit dimungkinkan untuk mengetahui sumbernya. Menurut Jalaluddin (2005 : 12) menyatakan bahwa “Tradisi adalah sesuatu yang sulit berubah, karena sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat yang mendukungnya”. Seperti halnya salah satu bentuk warisan budaya yang terpendam dan masih eksis di Bali adalah Tari Rejang Lilit yang ada di Pura dadia Arya Maja Keling. Tari Rejang Lilit adalah sebuah tari sakral yang sangat unik dilihat dari penari yang membawakannya yaitu penari putra sedangkan di daerah lain dibawakan oleh penari putri seperti biasanya. Dikatakan unik karena seperti pernyataan berikut ini, Kata Rejang mengandung arti: “Cantik, manis, indah, dan menarik” (Daryanto,1994 : 213). Sedangkan menurut Sudarsono (2002 : 76) mengemukakan bahwa: “ Tari Rejang adalah tarian wanita di Bali yang memiliki kadar ritual yang sangat tinggi”.
Berdasarkan pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa Tari Rejang adalah tarian wanita di Bali yang bersifat cantik, manis, indah, dan menarik serta memiliki kadar ritual yang sangat tinggi. Berbeda dengan Tari Rejang Lilit yang ada di Pura dadia Arya Maja Keling ini sudah tentu memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh wilayah lain, karena dibawakan oleh penari putra dan sudah menyimpang dari pengertian Tari Rejang menurut teori. Kaitannya dengan Tari Rejang Lilit dalam Pujawali di Pura dadia Arya Maja Keling, masih banyak yang belum mengetahui bentuk pementasan, fungsi dan makna Tari Rejang Lilit tersebut.
Melihat fenomena yang seperti itu, maka sudah menjadi kewajiban dan tugas bagi kalangan akademis yang berkecimpung dalam bidang keagamaan serta generasi muda bisa mempertahankan keberadaan Tari Rejang Lilit di Pura dadia Arya Maja Keling, agar lebih memahami dan memperdalam ajaran-ajaran agama serta melestarikan budaya-budaya Hindu agar tidak punah. Misi STKIP Agama Hindu Amlapura yaitu menyelenggarakan kegiatan penelitian yang akuntabel dan berdaya saing, lembaga memfasilitasi mahasiswa untuk menyelenggarakan penelitian dengan judul “Tari Rejang Lilit dalam Pujawali di Pura Dadia Arya Maja Keling Desa Culik Kecamatan Abang Kabupaten Karangasem”.



1.2       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dijabarkan permasalahannya sebagai berikut:
1.                  Bagaimana bentuk pementasan Tari Rejang Lilit di Pura dadia Arya Maja Keling dalam Pujawali?
2.                  Apa fungsi Tari Rejang Lilit di Pura dadia Arya Maja Keling dalam Pujawali?
3.                  Apa makna Tari Rejang Lilit di Pura dadia Arya Maja Keling dalam Pujawali?

1.3  Tujuan Penelitian
Terkait dengan judul penelitian ini, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut: (1) Untuk mendeskripsikan bentuk pementasan Tari Rejang Lilit di Pura dadia Arya Maja Keling dalam Pujawali. (2) Untuk mendeskripsikan fungsi Tari Rejang Lilit di Pura dadia Arya Maja Keling dalam Pujawali. (3) Untuk mendeskripsikan makna Tari Rejang Lilit di Pura dadia Arya Maja Keling dalam Pujawali.

1.4  Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat, baik secara teoretis maupun praktis. Sehingga hasil yang ingin dicapai dari penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pihak-pihak tertentu untuk mengambil manfaat. (1) Manfaat Teoretis yaitu Hasil penelitian ini diharapkan nantinya dapat memberikan kejelasan informasi dan sumber pengetahuan ilmiah yang lengkap tentang keberadaan Tari Rejang Lilit di Pura dadia Arya Maja Keling sehubungan dengan Pujawali. Disamping itu penelitian ini bermaksud melestarikan sekaligus mendokumentasikan warisan budaya bangsa. (2) Manfaat Praktis yaitu melalui penelitian ini dapat dijadikan pedoman serta petunjuk dalam menata aktivitas keagamaan dalam kehidupan bermasyarakat. Maka dari itu dengan penelitian akan ditemukan fungsi dalam kontek upacara keagamaan serta makna secara spiritual di dalam mendukung dan membentengi kehidupan krama Pura dadia Arya Maja Keling Desa Culik Kecamatan Abang Kabupaten Karangasem dimasa mendatang.
II   KAJIAN PUSTAKA

2.1  Pengertian Seni Tari Bali
“Seni tari merupakan hasil cipta, rasa, karsa dan karya manusia dalam bentuk gerak. Gerak dalam tari bukanlah gerak dalam keseharian melainkan gerak yang telah mengalami perubahan menjadi gerak yang indah, karena telah diberikan sentuhan seni” (Wirnata, 2007 : 10). Sedangkan menurut Suhernawan (2010 : 5) menyatakan bahwa “Seni tari adalah seni yang diwujudkan melalui gerak, ruang, waktu, irama, wirasa, wiraga, dan susunan unsur gerakan anggota tubuh secara teratur dan menurut pola-pola tertentu sehingga menimbulkan gerakan yang indah dan memesona”.
Berdasarkan pendapat di atas dapat diperjelas bahwa seni tari Bali merupakan hasil cipta, rasa, karsa masyarakat dan seniman Bali. Segala perbuatan manusia yang timbul dari perasaan, diwujudkan melalui gerak, ruang, waktu, irama, wirasa, wiraga, dan susunan unsur gerakan anggota tubuh secara teratur, menurut pola-pola tertentu sehingga menimbulkan gerakan yang indah dan memesona.

2.2       Pengertian Tari Rejang Lilit
Menurut Bagong Kussudiardjo (dalam Wahyudiyanto, 2008 : 11) menyatakan bahwa “tari adalah keindahan bentuk dari anggota badan manusia yang bergerak, berirama, dan berjiwa yang harmonis”. Itu berarti di dalam tari menampilkan unsur-unsur keindahan dan gerakan anggota badan seperti : gerakan kepala, mata, bahu, pinggang, tangan dan kaki yang bergerak dengan irama dan berjiwa yang harmonis. Kemudian Tim Penyusun (2001 : 105) mengemukakan bahwa : “Tari adalah ungkapan jiwa manusia sebagai media gerak ritmis yang dapat menimbulkan daya pesona”. Itu artinya ungkapan jiwa manusia meliputi cetusan akan rasa dan emosional disertai kehendak kemudian disalurkan melalui gerak ritmis. Gerak ritmis adalah gerak spontanitas penuh penjiwaan oleh si penari sehingga dapat menggugah rasa si pelaku dan si pengamat sebagai wujud rasa pesona, rasa pesona yang terlintas apakah rasa indah, lembut, keras, menggelikan, marah, sedih, dan lain sebagainya. Jadi dihayati ada pemindahan rasa melalui media gerak.
            Menurut Yudabakti (2007 : 68) mengemukakan bahwa: “Tari Rejang adalah simbol ... widyadari yang menuntun bhatara turun ke dunia, yang dilakukan pada waktu upacara melasti atau turun kepeselang”. Dalam Kamus Besar Indonesia Modern, kata lilit mengandung arti “keliling pada suatu bidang”, Daryanto (1994 : 193). Berkaitan dengan tari upacara di Pura maka arti dari kata keliling adalah keliling di areal Pura tempat pementasan tari sakral. Mengingat pura yang ada di Bali mempunyai wilayah terbagi menjadi tiga yang disebut Tri mandala dimana bagian areal Pura yang dalam sering disebut Utamanig Mandala/Jeroan, sedangkan areal Pura yang ada di tengah-tengah disebut Madya Mandala/Jaba Tengah dan areal Pura yang paling luar sering disebut Nista Mandala /Jaba Sisi. jadi Tari Rejang Lilit ditarikan dengan cara berkeliling mengelilingi pelinggih-pelinggih yang ada dan mengambil tempat di Utamaning Mandala/Jeroan.
Berdasarkan uraian di atas dapat dibangun pemahaman bahwa Tari Rejang Lilit adalah tari yang menggunakan gerakan-gerakan anggota tubuh yang berirama diiringi musik atau gambelan dan memiliki kadar ritual sangat tinggi berfungsi sebagai tari sakral keagamaan serta mengandung ekspresi perasaan indah dan menarik dengan cara mengelilingi pelinggih yang ada di areal Pura.

2.3       Jenis-jenis Tari Sakral
Tari yang termasuk sakral adalah jenis-jenis tarian yang bersifat religius dan hanya ditarikan pada upacara Dewa Yadnya di Pura-pura pada daerah setempat, akan dituangkan hanya beberapa. Adapun jenis-jenis tari sakral diantaranya yaitu: (1) Tari Sanghyang merupakan tarian sakral sebagai tapakan (tempat turunnya roh) yang diyakini dapat mengusir roh-roh jahat ataupun hama penyakit dan tari ini hanya ditarikan pada daerah setempat yang memiliki tarian itu serta menyesuaikan dengan nama tari sanghyang yang berbeda-beda. (2) Tari pendet adalah tari persembahan yang ditarikan di halaman Pura oleh anak-anak dewasa baik laki-laki maupun perempuan dengan membawa alat-alat persembahyangan seperti canang pasucian, canang sari, pangresikan, pasepan, tetabuhan dan lain sebagainya, untuk dihaturkan kehadapan Hyang Widhi Wasa pada saat piodalan. (3) Tari rejang adalah tergolong tari sakral atau tari upacara keagamaan yang ditarikan oleh anak perempuan yang masih betul-betul suci berkisar umur 6 sampai dengan 8 tahun, Usia tarian ini tergolong sangat tua karena gerakannya yang sederhana  dan ditarikan secara berkelompok atau masal.

2.4 Pengertian Pujawali
Istilah “ upacara berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti mendekati atau penghormatan” (Wiana, 1992 : 37).  Upacara itu adalah upaya mendekatkan diri kepada Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa sebagai maha pencipta alam semesta beserta isinya dengan melaksanakan suatu yadnya. Selain mendekatkan diri dengan Hyang Widhi Wasa, kegiatan upacara agama juga mendekatkan manusia dengan sesama manusia serta alam lingkungan sehingga terciptanya kehidupan yang sejahtera dan harmonis.
Pujawali berasal dari kata puja dan wali yang mana puja berati memuja atau suatu wujud pemujaan kepada Hyang Widhi Wasa sedangkan wali berarti kembali. Pujawali merupakan wujud bhakti sebagai usaha untuk mencapai jagadhita yang dalam babad Bali piodalan juga disebut sebagai: (1) Petirtaan, (2) Petoyaan dan (3) Puja Wali. Pujawali yang utamanya sebagai kelompok upacara dewa yadnya ini merupakan upacara yang ditujukan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya yang dipimpim oleh seorang pemangku di tempat suci masing-masing dengan cara: (1) Nglinggayang, (2) Ngerekayang (ngadegang), (3) dalam hari-hari tertentu yang dilaksanakan dengan sembahyang bersama, (Arnata, 2013 : 12).
            Berdasarkan pendapat di atas dapat dicermati bahwa Pujawali adalah upacara dewa yadnya melalui suatu wujud bhakti sebagai usaha untuk mencapai jagadhita dengan jalan perayaan atau pemujaan yang dilakukan kembali kehadapan Hyang Widhi Wasa guna memperingati hari distanakan Dewa-Bhatara. Hari baik melaksanakan piodalan tergantung pada kapan Dewa-Bhatara distanakan, baik setiap 6 bulan sekali ataupun 1 tahun sekali seperti biasanya.

III.  METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang dilakukan dengan suatu metode tertentu dan dengan cara hati-hati, sistematis serta sempurna terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan atau menjawab problema (Subagyo, 2004 : 10).
Jenis-jenis metode penelitian dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan, dan tingkat kealamiahan obyek yang diteliti (Sugiyono, 2008 : 4). Berdasarkan tingkat kealamiahan, metode penelitian dapat dikelompokkan menjadi metode penelitian eksperimen, survey dan naturalistik. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian lapangan yang menggunakan jenis pendekatan kualitatif. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan empiris, pendekatan empiris adalah pendekatan secara wajar, karena gejala telah ada secara alamiah (Dwija, 2006 : 39-40).
Dalam menentukan subjek penelitian digunakan teknik sampling. Purposive Sampling dalam menetukan sejumlah sampel berdasarkan pertimbangan subjektif peneliti. Sampel harus memenuhi kriteria yang ditetapkan peneliti. Sedangkan, di dalam Snowball Sampling, peneliti menetapkan informan kunci yang selanjutnya dapat menunjukkan informan-informan lain (Subagyo, 2004:31). Data yang relevan bisa didapatkan dengan berpedoman pada beberapa sumber yang disebut dengan sumber data. Sumber data dapat dibedakan menjadi dua yakni: (1) sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data, (2) dan sumber sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data.
Dalam penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data: (1) Observasi (2) wawancara, dan (3) pencatatan dokumen. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskritif yaitu suatu cara pengolahan data yang dilakukan dengan cara penyusunan hasil penelitian secara sistematis, sehingga diperoleh suatu kesimpulan umum. Teknik pengolahan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik induksi dan argumentasi, yakni menguraikan dan mengomentari persoalan-persoalan secara logis terhadap fakta-fakta yang ditemukan lewat penelitian atas dasar alasan-alasan rasional.

IV.  PEMBAHASAN

4.1       Bentuk Pementasan Tari Rejang Lilit di Pura Dadia Arya Maja Keling dalam Pujawali
Terkait dengan bentuk Tari Rejang Lilit hal-hal yang dibahas sebagai berikut: (1) Asal mula keberadaan Tari Rejang Lilit di Pura dadia Arya Maja Keling. (2) Penari Tari Rejang Lilit dalam Pujawali. (3) Tata busana Tari Rejang Lilit dalam Pujawali. (4) Tempat pementasan Tari Rejang Lilit dalam Pujawali. (5) Urutan penyajian Tari Rejang Lilit dalam Pujawali. (6) Perbedaan Tari Rejang Lilit yang ada di Pura dadia Arya Maja Keling dengan Tari Rejang Lilit pada umumnya. (7) Prosesi Tari Rejang Lilit dirangkaikan pada Pujawali di Pura dadia Arya Maja Keling. Dalam rangkaian pementasan Tari Rejang Lilit pada Pujawali dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada saat pamungkah dan pemiosan:
 (1) Pada pementasan pertama dalam pelaksanaan Pujawali di pura dadia Arya Maja Keling disebut pamungkah. Tari Rejang Lilit ini dipentaskan 2 kali yaitu yang pertama sekitar pukul 10.00 WITA pada saat tradisi mendak (menjemput) Ida Bhatara Embudan Toya dan di linggihkan di tempat yang sudah disiapkan (panggungan) dihaturkan persembahan (sesajen/ayunan) lalu dipersembahkan hiburan pengenak-enak berupa ilen-ilen seperti: (1) pendetan lanang (laki-laki) yang ditarikan oleh kedua pengempon pura dadia. (2) pendetan istri (perempuan) yang ditarikan oleh kedua pengempon pura dadia. (3) Tari Rejang Lilit yang ditarikan oleh anak laki-laki seusia SD sampai dengan SMP yang masih ngraja singa. (4) Lelegongan yang ditarikan oleh krama istri (perempuan) kedua pengempon pura dadia. Selesai acara ilen-ilen (tari-tarian) dilanjutkan muspe (sembahyang bersama) seluruh pengempon pura dadia Embudan Toya terlebih dahulu setelah itu pengempon pura dadia Arya Maja Keling. Kemudian pengempon pura dadia Embudan Toya melaksanakan acara makan bersama /magibung (nunas pica) terlebih dahulu, dilanjutkan pengempon pura dadia Arya Maja Keling. Diadakannya acara megibung bermaksud mempererat tali hubungan erat antara kedua pengempon pura dadia agar dapat hidup berdampingan rukun dan damai.
(2) Pada pementasan kedua dalam pelaksanaan Pujawali di pura dadia Arya Maja Keling disebut pemiosan yang dilaksanakan sekitar pukul 16.00 WITA, disebut pemiosan karena krama perempuan yang  kawin keluar pura dadia Pemiosan juga memiliki arti para krama di luar krama dadia yang melaksanakan Pujawali manghaturkan persembahan bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi, sebelum melaksanakan persembahyangan pemios di berikan hiburan dengan tari-tarian, sama halnya pada saat pemungkah dilaksanakan yaitu katuran ilen-ilen: Pendetan Lanang, Pendetan Istri, Tari Rejang Lilit, dan yang terakhir Lelegongan. Setelah pementasan ilen-ilen tersebut seluruh pengempon pura dadia Arya Maja Keling dan juga pemios melakukan persembahyangan bersama dan dilanjutkan makan bersama (megibung). Tidak lain tujuan dari megibung / makan bersama ini adalah untuk mempererat tali hubungan antara pemios dengan pengempon asli pura dadia tersebut.

4.2   Fungsi Tari Rejang Lilit dalam Pujawali
              Segala sesuatu yang ada di muka bumi memiliki fungsi atau kegunaan. Maka setiap orang dalam mengerjakan segala sesuatu dan untuk diciptakan sudah  tentu mempunyai fungsi. Dalam hal ini arti fungsi digunakan sebagai kegunaan dari suatu hal, seperti contoh dalam penciptaan tari. Tari yang dipentaskan ada yang berfungsi sebagai pengiring upacara keagamaan dan ada juga sebagai hiburan yang dirasakan langsung oleh masyarakat yang menontonnya. Sama halnya dengan Tari Rejang Lilit dalam Pujawali digunakan sebagai tari pengiring upacara keagamaan yang ada di pura dadia Arya Maja Keling memiliki (1) fungsi ritual, (2) fungsi estetika dan (3) fungsi sosial.
              (1) Fungsi ritual dari Tari Rejang Lilit adalah sebagai pengantar upacara pada pelengkap Pujawali yang tidak boleh ditinggalkan, suatu penghormatan dalam pemujaan, dapat lebih mendekatkan diri dengan sang pencipta dan sebagai daya dorong membangun spiritual yang kuat. (2)  Fungsi estetika dari Tari Rejang Lilit dengan terkaitnya semua unsur seni dalam tarian tersebut dapat juga meningkatkan kreatifitas seni, menghaluskan perasaan, dan mengapresiasikan seni. (3) Fungsi sosial Tari Rejang Lilit adalah memperluas pergaulan dan mempererat persaudaraan antara pelaku-pelaku yang terkait dalam pementasan Tari Rejang Lilit.

4.3  Makna Tari Rejang Lilit dalam Pujawali
Tari adalah suatu seni yang dilakukan dengan beberapa gabungan gerak sehingga menjadi satu kesatuan yang terkait untuk bisa dinikmati dan dimaknai oleh penikmatnya. Gerakan-gerakan pada semua tari melambangkan simbol dan pemaknaan yang berbeda sesuai dengan bentuk gerakan tangan, kaki, mata, serta bentuk badan. Maka makna Tari Rejang Lilit dalam Pujawali di pura dadia Arya Maja Keling sebagai berikut: (1) Sebagai media menghaturkan persembahan kepada Hyang Widhi segala manifestasinya, dengan suatu tujuan agar beliau selalu melindungi dan merahmati umatnya. (2) Sebagai media keikutsertaan anak-anak mewujudkan rasa bhakti kepada Ida Hyang Widhi segala manifestasinya.
Selain daripada itu Tari Rejang Lilit dalam Pujawali memiliki makna sebagai tarian keluarga dimana hubungan antara anak-anak dengan kedua orang tuanya”. Artinya seorang anak laki-laki yang menarikan Tari Rejang Lilit tersebut dengan gembira dipertunjukan kepada ayah dan ibunya. Melengkapi pendapat tersebut Mangku Rope menambahkan bahwa makna dari Tari Rejang Lilit ini adalah sebagai persembahan bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa Ide Bhatara-Bhatari utamaning Bhatara sesuunan Embudan Toya makasaksi ring Piodalan
Dari uraian di atas dapat dicermati bahwa Tari Rejang Lilit di pura dadia Arya Maja Keling dalam Pujawali memiliki makna sebagai simbolisasi perwujudan bhakti dari seorang anak perempuan kepada ibunya (Bhatari Ida Ratu Ayu Pudak Nelayang kepada Bhatari Ida Ratu Ayu Puncak Sari Masmuter) untuk menghormatinya dengan mempersembahkan tarian yang indah bersifat suci sehingga harus ditarikan oleh anak laki-laki yang masih ngraja singa (masih suci).



V. PENUTUP
5.1 Simpulan
            Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang Tari Rejang Lilit dalam Pujawali di Pura dadia Arya Maja Keling Desa Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.  Bentuk pementasan Tari Rejang Lilit di pura dadia Arya Maja Keling, yang disebut tari Wali (sakral) dan pelaksanaannya dirangkaikan pada Pujawali sebanyak dua kali yaitu: pelaksanaan yang pertama disebut pamungkah sekitar pukul 10.00 WITA, dan pelaksanaan yang kedua disebut pamiosan sekitar pukul 16.00 WITA. Serta mengacu pada struktur bentuk Tari Rejang Lilit diungkap tentang para penari, busana, urutan penyajian, perbedaan, dan tempat pementasan Tari Rejang Lilit dalam Pujawali di pura dadia Arya Maja Keling.
2.  Fungsi Tari Rejang Lilit dalam Pujawali ada tiga yaitu:
(1) Memiliki fungsi ritual yaitu dengan dipentaskannya Tari Rejang Lilit ini pada saat pelaksanaan upacara keagamaan dalam rangka Pujawali di pura dadia Arya Maja Keling yang khusus dipersembahkan kepada Bhatari Ida Ratu Ayu Puncak Sari Masmuter. (2) Memiliki fungsi estetika yaitu Tari Rejang Lilit dalam Pujawali diwarnai dari beberapa unsur seni misalnya gerak, lukisan dari busana dan alat yang dipakainya begitu juga dengan seni suara berupa gambelan yang ikut tergabung dalam pelaksanaannya sehingga terlihat serasi dan indah. (3) Memiliki fungsi sosial, yaitu dengan terciptanya rasa solidaritas diantara warga krama pura dadia dalam menyiapkan anak laki-laki untuk menjadi penari Tari Rejang Lilit tersebut.

3.  Makna Tari Rejang Lilit dalam Pujawali di pura dadia Arya Maja Keling yaitu memiliki makna sebagai simbolisasi perwujudan bhakti dari seorang anak perempuan kepada ibunya (Bhatari Ida Ratu Ayu Pudak Nelayang kepada Bhatari Ida Ratu Ayu Puncak Sari Masmuter) untuk menghormatinya dengan mempersembahkan tarian yang indah bersifat suci sehingga harus ditarikan oleh anak laki-laki yang masih ngraja singa (masih suci).
5.2  Saran-saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disarankan sebagai berikut :
1. Bagi masyarakat Desa Culik khususnya generasi muda laki-laki yang menjadi pangempon pura dadia Arya Maja Keling jangan hanya mengetahui bentuk pementasan Tari Rejang Lilit secara teori.
2. Kepada seluruh umat Hindu di manapun berada agar lebih mencintai seni dan budaya. Khususnya tari-tari yang bersifat sakral agar tetap dilestarikan, karena itu merupakan kekayan yang harus dijaga kesuciannya maka disarankan kepada generasi muda agar dapat menjaga kelestarian kekayaan Desa masing-masing yang bersifat sakral baik berupa tarian maupun seni yang lainnya.
3. Penelitian ini hanya sebatas pada bentuk pementasan Tari Rejang Lilit, fungsi dan makna dari pementasan Tari Rejang Lilit saja, maka diharapkan ada penelitian lagi pada aspek-aspek yang terkandug di dalamnya.
  

  DAFTAR PUSTAKA

Arnata, Windhu. 2013. Wawasan : Tradisi AdatBali_Piodalan. Balinesetradition.blogspot.co.id/2013/12/tradisi-adat-bali- piodalan.html?m=1. Diakses tanggal 17 Juni 2016.

Daryanto, SS. 1994. Kamus Bahasa Indonesia. Surabaya: Apollo.

Dwija, I Wayan. 2006. Metodologi Penelitian Pendidikan (Bahan Ajar). STKIP
              Agama Hindu Amlapura.

Jalaluddin. 2005. Kehidupan Masyarakat Modern. Surabaya: Paramita.

Joko Subagyo. 2004. Metodologi Penelitian Dalam Teori dan Praktek. Jakarta:
              PT. Bineka Cipta.

Sudarsana, Ida Bagus Putu. 2005. Upacara Dewa Yadnya. Yayasan Dharma
              Acarya, Percetakan Anom.

Sudarsono, R.M. Dr.Prop. 2002. Seni Pertunjukan Indonesia. Yogyakarta : Gajah Mada University Pres.

Sugiyono. 2008. Metodologi Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta.

Suhernawan Rachmat, Dkk. 2010. Seni Rupa-Studi dan Pengajaran. Pusat Perbukuan Kementrian Pendidikan Nasional.

Tim Penyusun. 2001. Buku Pelajaran Agama Hindu Tingkat SMU kelas : III. Departemen Agama RI Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Bali.

Wahyudiyanto. 2008. Pengetahuan Tari. Surakarta : Isi Press Solo dan CV
          Cendrawasih. 

Wiana, I Ketut. 1992. Sembahyang Menurut Hindu. Denpasar : Yayasan Dharma
              Naradha.

Wirnata, Ida Komang. 2007. Seni Sakral. Amlapura: Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Agama Hindu.

Yuda Bakti, I Made. 2007. Filsafat Seni Sakral dalam Kebudayaan Bali. Surabaya : Paramita.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGGAMBARAN SORGA DAN NERAKA DALAM TEKS JAPA TUAN